Takaran dan Timbangan dalam Islam

By Unknown - 19.54

Berbicara tentang menimbang dan menakar, erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi telah ada sejak dulu, hanya saja istilah ekonomi masih belum dikenal dan belum menjadi disiplin ilmu tersendiri.  Jika dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan yang lain, seperti kedokteran, hukum, dsb. kegiatan ekonomilah yang pertama kali terlahir, Karena Keberadaannya lahir serentak dengan terbitnya matahari kemanusiaan, yaitu puluhan ribu tahun yang silam. Keberadaannya juga telah dirasakan sangat penting sejak nabi Adam as. diturunkan ke bumi bersama istrinya. Kebutuhan mereka akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal telah memaksa mereka untuk bergumul dan bergaul dengan masalah-masalah ekonomi.
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak akan terlepas dari kegiatan ekonomi, karena dipundak mereka ada beban nafkah yang harus ia berikan kepada istri, anak, dan kerabatnya. Sehingga untuk memenuhi hal itu manusia harus berinteraksi dengan orang lain.
Dalam mencapai tujuan, manusia yang satu dengan yang lain memiliki cara sendiri-sendiri. Sebagian dari mereka memilih untuk bercocok tanam (bertani), memproduksi barang, dan ada pula yang lebih asyik berdagang (berniaga). Semua cara ini baik dan mulia jika dilakukan sesuai prosedural yang ada. Landasan tiga cara ini adalah sabda Nabi ketika beliau ditanya tentang pekerjaan apa yang paling utama dilakukan, kemudian Nabi menjawab; pekerjaan seseorang dengan tangannya (jerih payahnya) sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur.
Tiga cara di atas menjadi prioritas dalam kegiatan ekonomi karena ketiga-tiganya kerap kali menjadi pilihan utama ulama-ulama terdahulu, bahkan Nabi dan sahabatnya tercatat sebagai pelaku utamanya. Nabi sukses dalam berdagang, Abu Bakar  ra. menjalankan usaha perdagangan pakaian, Umar ra. memiliki bisnis perdagangan jagung dan Utsman ra. juga memiliki usaha perdagangan pakaian. Hal ini menunjukkan bahwa generasi islam tidak kekurangan figur dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam perdagangan.
Mengingat keberadaannya yang telah berabad-abad, kegiatan ekonomi sarat dengan peristiwa-peristiwa yang bernuansa sejarah. Keberadaannya telah banyak diwarnai peradaban dari masa ke masa sehingga, tahun demi tahun format dari kegiatan ekonomi selalu mengalami perubahan. Hal ini memberikan perhatian khusus kepada kita untuk selalu menelaah sejarah-sejarah umat terdahulu dalam kegiatan ekonomi yang mereka jalankan.
Sejarah kelam penduduk Madinah dan kaum Nabi Syuib as, tercatat sebagai sejarah yang patut dijadikan sebuah pelajaran dan sebagai peringatan terhadap umat-umat berikutnya. Allah telah membinasakan mereka akibat tindakannya yang sok dalam hal menimbang dan menakar. Mereka menganggap dirinya sebagai yang berkuasa dan berbuat semena-mena tanpa memerhatikan hak orang lain. Jika mereka menimbang mereka mengurangi timbangan dan takarannya, dan ketika berada diposisi pembeli, mereka meminta  agar takaran dan timbangannya dipenuhi. Tentu ini tindakan yang merugikan salah satu pihak.
Timbangan dan takaran adalah dua hal yang harus diperhatikan oleh penjual demi kepuasan pembeli. Pembeli akan merasa puas jika dalam transaksi yang ia lakukan transparan, tidak ada yang ditutup-tutupi. Salah satu bentuk ketransparanan adalah penjual tidak mengurangi timbangan atau takarannya. Maka dari itu, Nabi bersabda “Sesungguhnya kalian diserahi dua perkara yang telah mencelakakan umat-umat terdahulu”, Ini menunjukkan bahwa sejak awal Nabi telah mewanti-wanti kepada meraka (para penjual) bahwa kebanyakan umat-umat sebelumnya celaka sebab dua perkara itu yakni timbangan dan takaran. (al-Jami’ al-Shohih Sunan al-Turmudzi, juz 3 hal 217).
Dari saking pentingnya memperhatikan timbangan dan takaran, Allah menyinggungnya ± 4 kali di dalam Al-Qur’an. Berikut firman Allah dalam ayat al-Isra’, ayat 35 yang artinya “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” , surat al-An’am ayat 152 yang artinya “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya”, surat al-Rahman ayat 9 yang artinya “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”, dan surat al-Muthoffifin ayat 1-4 yang artinya “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan”
Berulang-ulangnya penjelasan di dalam Al-Qur’an tentang suatu persoalan menunjukkan tingkat keseriusan dari persoalan tersebut. Dalam hal timbangan dan takaran, Allah sebut berkali-kali dalam firman-Nya. Hal ini mengindikasikan bahwa Allah sangat serius dalam mengatur hubungan antara sesama. Karena jika tidak demikian, tentu dalam transaksi ada salah satu pihak yang dirugikan dan hal ini tidak diharapkan oleh syari’at. Nabi bersabda, bahwa akad jual beli harus dilaksanakan atas dasar suka rela. Maka dari itu, konsep dasar dalam bertransaksi harus ada kerelaan antara penjual dan pembeli dan tidak menimbulkan spekulasi (ketidak jelasan) dalam transaksi.
Realita yang terjadi di masyarakat kini keadaannya sangat memprihatinkan. Ada sebagian dari mereka yang terbiasa mengurangi atau mengubah timbangan dan takarannya dari bentuk yang normal. Demi keuntungan yang cukup besar dan menjanjikan, mereka rela menerobos rel-rel syari’at yang telah ditetapkan. Mereka sama sekali tidak memperhatikan kepuasan dan kekecewan pembeli. Padahal dalam transaksi, penjual dan pembeli sama-sama mempunyai hak yang harus dipenuhi satu sama lain.
Secara sosial, kondisi penjualan semacam ini akan mengantarkan terhadap ketidakharmonisan antara penjual dan pembeli. Pembeli ogah untuk kembali membeli barang-barangnya. Memang, selama pembeli tidak tahu terhadap apa yang dilakukan oleh penjual tidak akan menjadi masalah. Tetapi ingat, pembeli tidak semuanya bodoh yang bisa dikibuli terus menerus. Pada saatnya nanti mereka akan komplain. Mereka akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang telah diperlakukan kepada dirinya. Intinya, jika perdagangan semacam ini diterusberlangsungkan maka bukan keuntunganlah yang akan diraup tetapi kehancuranlah yang telah menunggu.
Sementara jika ditinjau dari aspek hukum, tentu penjualan semacam ini tidak dibenarkan oleh syari’at. Apapun alasannya, kalau diantara hak penjual dan pembeli tidak terpenuhi maka suatu transaksi dinyatakan tidak sah.

Sebagai tindakan preventif, penjual setidaknya tidak terlalu mengedepankan keuntungan yang besar, karena dibalik itu semua ada hal yang lebih penting diperhatikan yaitu kepuasan pembeli. Pedagang yang sukses bukanlah pedagang yang banyak mengambil keuntungan tetapi pedagang yang bisa membuat pembeli merasa puas. Wallahua’lam….
Oleh: Hafidz Wahyudi,  mahasiswa fakultas tarbiyah IAI Ibrahimy dan Mahasantri Marhalah ula Sukorejo Situbondo Jatim, Img: tribunnews.
[1] Suherman, Pengantar Teori Ekonomi , Raja Walipress, Jakarta, 2005, hal 3
[2] Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, Pustaka Pelajar, yogyakarta, 2004, hal 49

Dunia Menurut Islam adalah sementara dan orang-orang tidak melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya, malah melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah salah satunya adalah mengurangi timbangan.
Mengurangi timbangan adalah salah satu fenomena yang terjadi sejak jaman dahulu hingga sekarang. Hal ini sudah sering dilakukan oleh para pedagang atau pembisnis dan bukan menjadi hal yang tabu di masyarakat.
Para pedangan akan melakukan banyak cara untuk melakukan penipuan dengan mengurangi timbangan. Misalnya saja, para pedagang yang menggunakan timbangan tradisional. Mereka biasanya mengganjal timbangan sehingga pengukuran menjadi lebih berat dari berat barang sebenarnya.
Akibatnya para pedagang akan mendapatkan keuntungan lebih, sedangkan konsumen menjad dirugikan.
Tentu saja, hal ini tidak diperkenankan dalam Islam. Sebab semua bentuk kecurangan adalah haram dan hal itu bukanlah Cara Bahagia Menurut Islam dalam Kehidupan Dunia yang disukai Allah. Bagaimana hukum mengurangi timbangan dalam Islam. Berikut adalah ulasannya.
Hukum mengurangi timbangan dalam Islam
Mengurangi timbangan adalah salah satu bentuk praktek pencurian milik orang lain. Apabila takaran timbangan itu sedikit, bisa menjadi sebuah ancaman dan akan menjadi ancaman yang lebih besar bila takaran timbangan tersebut meningkat dengan jumlah yang besar.
Hukum mengurangi timbangan dalam Islam termasuk dalam dosa besar atau sama dengan dosa orang yang melalaikan shalatnya. Allah akan membawa pelakunya ke neraka Wayl (fawaiilul lil mushallin). Wailun atau Wayl adalah lembah jahannam dimana bukit-bukit apabila dimasukkan ke dalamnya langsung mencair karena amat panasnya.
Assayid berkata bahwa turunnya ayat ini saat Nabi Muhammaad SAW hijrah ke Madinah, kemudian Nabi melihat Abu Juhainah yang memiliki dua alat timbangan yaitu timbangan membeli untuk menguntungkan dirinya dan timbangan menjual untuk merugikan pembelinya.
Ikrimah berkata bahwa beliau bersaksi bahwa tukang timbang itu ada dalam neraka lalu seseorang menegur, “anakmu juga tukang timbang”. Ikrimah mengatakan bahwa persaksilah dia pun akan juga berada dalam neraka.
Saayidina Ali r.a berkata bahwa janganlah meminta kebutuhanmu dari seseorang yang rezekinya berada di ujung takaran dan timbangan.
Hukamak berkata bahwa celakalah orang yang menjual biji-bijian dengan takaran yang dikurangi sebab Allah akan mengurangi nikmat surga yang seluas langit dan bumi dan menggantinya dengan menambah lubang di dalam neraka dimana bukit-bukit akan mencair jika terkena panasnya.
Al-Syafi’i dari Malik bin Dinar berkata kepada keluarganya “Apa kelakuannya dulu?” mereka menjawab “Dia memiliki dua timbangan yaitu untuk menjual dan membeli, kemudian beliau menghancurkan keduanya’‘ dan berkata “Bagaimana keadaanmu sekarang?” ia menjawab “Tetap, bahkan sangat sukar” hingga ia meninggal dengan keadaan sakit itu. Bahkan dalam kisah yang lain, ada seseorang yang menghadiri orang yang akan meninggal, orang tersebut diajarkan agar membaca kalimat tayyibah, namun ia berkata “Saya tidak bisa membaca kalimat tersebut sebab jarum timbngan mengganjal lidah saya”, “Bukanya dulu Anda menepati timbangan?”, “Benar, tetapi saya tidak membersihkan kotoran yang terdapat pada takaran sehingga saya merugikan orang lain”
Sungguh kisah-kisah di atas adalah salah satu ancaman untuk orang yang berani mengurangi timbangan dalam kegiatan jual beli. Bahkan hukum tersebut telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadits :
أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ
وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ
    “Sempurnakan takaran dan jangan menjadi orang yang merugikan. Dan timbanglah menggunakan timbangan yang lurus.” (QS. Asy-Syu’ara 181-182)
    “Jika kamu menimbang harus ditepati” (HR. Ibnu Majah)
    وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ﴿١﴾الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ﴿٢﴾وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ﴿٣﴾أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya : “Kecelakaan besar bagi orang yang curang. Yaitu orang yang menerima takaran, harus dipenuhi. Dan apabila mereka menakar, mereka akan mengurangi. Tidakkah orang-orang yakin mereka dibangkitakan pada hari yang besar yaitu hari saat manusia menghadap Rabb semesta alam” (QS. Al-Muthaffifin 1-6)
Allah SWT menafsirkan muthaffifin sebagai perilaku kecurangan. Kegiatan kecurangan tersebut seperti yang terkandung dalam ayat tersebut adalah, apabila orang tersebut menakar untuk diri sendiri, mereka meminta agar takarannya penuh bahkan meminta tambahan.

Namun, apabila mereka menakarkan untuk orang lain, mereka akan mengurangi takaran tersebut, baik dengan alat timbangan yang direkayasa atau dengan cara yang lain. Maka, hukum bagi orang yang melakukannya adalah siksaan neraka yang dahsyat yaitu neraka Jahannam.
Sempurnakan Takaran dan Timbangan
Maka dari itu, Islam telah memberikan perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan. Allah SWT berfirman :
    QS. Ar-Rahman : 9
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
“Dan tegakkan timbangan dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca tersebut”
    Al-An’am : 152
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan sempurnakan takaran serta timbangan secara adil. Kami tidak akan memikulkan beban sesuai dengan kemampuannya.
    Al-Isra’ : 35
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Dan baikkan takaran saat menakar, timbangn menggunakan neraca. Sebab itu lebih utama dna lebih baik.”
    Allah SWT berfirman :
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ۚ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ﴿٨٤﴾وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ﴿٨٥﴾بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۚ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ
“Dan untuk penduduk Madyan. Kamu utus Syu’aib dan berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah sebab tiada Tuhan selain Dia. Dan jangan mengurangi takaran dan timbangan, aku melihat kamu mampu dan aku khawatir pada azab yang membinasakan.” Syu’aib berkata, “Hai kaumku, takar dan timbanglah dengan adil dan tidak merugikan hak mereka dan jangan melakukan kejahatan an kerusakan. Sisa keuntungan dari Allah jika akmu beriman. Dan aku bukan menjaga dirimu.” (Hud : 84-86)
Sebab-sebab seseorang melakukan tindakan kecurangan diantaranya :
    Kuranganya ilmu dan pengetahuan tata cara berniaga dan berdagang yang baik menurut Islam
    Tidak mendalami fiqh buyu atau hukum-hukum jual beli dalam muamalah Islam.
Allah dan Rasul-Nya dengan tegas melarang kita untuk mengurangi timbangan sebab ini adalah perbuatan merugikan. Apabila Fungsi Iman Kepada Allah SWT, Rukun Iman dan Rukun Islam kita perkuat, tentu hal seperti ini tidak akan terjadi. Jika mengurangi timbangan terus dilakukan, maka tidak ada lagi kepercayaan dan kejujuran dari para pembeli.
Pembeli akan selalu merasa was-was membeli barang di pasar sebab ia merasa bahwa ia harus membayar dengan jumlah yang sama, namun dengan jumlah timbangan yang dikurangi.
Oleh sebab itu, pebisnis dan pedagang muslin harus selalu memperhatikan timbangan dengan baik. Hindari mencari keuntungan dengan mengurangi takaran. Pebisnis muslin harus mengutamakan kejujuran dan mencari keuntungan dengan cara yang halal. Sehingga tak hanya keuntungan saja yang didapat, akan tetapi ketentraman dan keberkahan juga.

Referensi :

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar