Berbicara tentang menimbang dan menakar, erat kaitannya
dengan kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi telah ada sejak dulu, hanya saja
istilah ekonomi masih belum dikenal dan belum menjadi disiplin ilmu
tersendiri. Jika dibandingkan dengan
kegiatan-kegiatan yang lain, seperti kedokteran, hukum, dsb. kegiatan
ekonomilah yang pertama kali terlahir, Karena Keberadaannya lahir serentak
dengan terbitnya matahari kemanusiaan, yaitu puluhan ribu tahun yang silam.
Keberadaannya juga telah dirasakan sangat penting sejak nabi Adam as.
diturunkan ke bumi bersama istrinya. Kebutuhan mereka akan makanan, pakaian,
dan tempat tinggal telah memaksa mereka untuk bergumul dan bergaul dengan
masalah-masalah ekonomi.
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak akan terlepas dari
kegiatan ekonomi, karena dipundak mereka ada beban nafkah yang harus ia berikan
kepada istri, anak, dan kerabatnya. Sehingga untuk memenuhi hal itu manusia
harus berinteraksi dengan orang lain.
Dalam mencapai tujuan, manusia yang satu dengan yang lain
memiliki cara sendiri-sendiri. Sebagian dari mereka memilih untuk bercocok
tanam (bertani), memproduksi barang, dan ada pula yang lebih asyik berdagang
(berniaga). Semua cara ini baik dan mulia jika dilakukan sesuai prosedural yang
ada. Landasan tiga cara ini adalah sabda Nabi ketika beliau ditanya tentang
pekerjaan apa yang paling utama dilakukan, kemudian Nabi menjawab; pekerjaan
seseorang dengan tangannya (jerih payahnya) sendiri dan tiap-tiap jual beli
yang mabrur.
Tiga cara di atas menjadi prioritas dalam kegiatan ekonomi
karena ketiga-tiganya kerap kali menjadi pilihan utama ulama-ulama terdahulu,
bahkan Nabi dan sahabatnya tercatat sebagai pelaku utamanya. Nabi sukses dalam
berdagang, Abu Bakar ra. menjalankan
usaha perdagangan pakaian, Umar ra. memiliki bisnis perdagangan jagung dan
Utsman ra. juga memiliki usaha perdagangan pakaian. Hal ini menunjukkan bahwa
generasi islam tidak kekurangan figur dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam
perdagangan.
Mengingat keberadaannya yang telah berabad-abad, kegiatan
ekonomi sarat dengan peristiwa-peristiwa yang bernuansa sejarah. Keberadaannya
telah banyak diwarnai peradaban dari masa ke masa sehingga, tahun demi tahun
format dari kegiatan ekonomi selalu mengalami perubahan. Hal ini memberikan
perhatian khusus kepada kita untuk selalu menelaah sejarah-sejarah umat
terdahulu dalam kegiatan ekonomi yang mereka jalankan.
Sejarah kelam penduduk Madinah dan kaum Nabi Syuib as,
tercatat sebagai sejarah yang patut dijadikan sebuah pelajaran dan sebagai
peringatan terhadap umat-umat berikutnya. Allah telah membinasakan mereka
akibat tindakannya yang sok dalam hal menimbang dan menakar. Mereka menganggap
dirinya sebagai yang berkuasa dan berbuat semena-mena tanpa memerhatikan hak
orang lain. Jika mereka menimbang mereka mengurangi timbangan dan takarannya,
dan ketika berada diposisi pembeli, mereka meminta agar takaran dan timbangannya dipenuhi. Tentu
ini tindakan yang merugikan salah satu pihak.
Timbangan dan takaran adalah dua hal yang harus diperhatikan
oleh penjual demi kepuasan pembeli. Pembeli akan merasa puas jika dalam
transaksi yang ia lakukan transparan, tidak ada yang ditutup-tutupi. Salah satu
bentuk ketransparanan adalah penjual tidak mengurangi timbangan atau
takarannya. Maka dari itu, Nabi bersabda “Sesungguhnya kalian diserahi dua
perkara yang telah mencelakakan umat-umat terdahulu”, Ini menunjukkan bahwa
sejak awal Nabi telah mewanti-wanti kepada meraka (para penjual) bahwa
kebanyakan umat-umat sebelumnya celaka sebab dua perkara itu yakni timbangan
dan takaran. (al-Jami’ al-Shohih Sunan al-Turmudzi, juz 3 hal 217).
Dari saking pentingnya memperhatikan timbangan dan takaran,
Allah menyinggungnya ± 4 kali di dalam Al-Qur’an. Berikut firman Allah dalam
ayat al-Isra’, ayat 35 yang artinya “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” , surat al-An’am ayat 152 yang artinya “Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya”, surat al-Rahman ayat 9 yang
artinya “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu”, dan surat al-Muthoffifin ayat 1-4 yang artinya
“Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah
orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan”
Berulang-ulangnya penjelasan di dalam Al-Qur’an tentang
suatu persoalan menunjukkan tingkat keseriusan dari persoalan tersebut. Dalam
hal timbangan dan takaran, Allah sebut berkali-kali dalam firman-Nya. Hal ini
mengindikasikan bahwa Allah sangat serius dalam mengatur hubungan antara
sesama. Karena jika tidak demikian, tentu dalam transaksi ada salah satu pihak
yang dirugikan dan hal ini tidak diharapkan oleh syari’at. Nabi bersabda, bahwa
akad jual beli harus dilaksanakan atas dasar suka rela. Maka dari itu, konsep
dasar dalam bertransaksi harus ada kerelaan antara penjual dan pembeli dan
tidak menimbulkan spekulasi (ketidak jelasan) dalam transaksi.
Realita yang terjadi di masyarakat kini keadaannya sangat
memprihatinkan. Ada sebagian dari mereka yang terbiasa mengurangi atau mengubah
timbangan dan takarannya dari bentuk yang normal. Demi keuntungan yang cukup
besar dan menjanjikan, mereka rela menerobos rel-rel syari’at yang telah ditetapkan.
Mereka sama sekali tidak memperhatikan kepuasan dan kekecewan pembeli. Padahal
dalam transaksi, penjual dan pembeli sama-sama mempunyai hak yang harus
dipenuhi satu sama lain.
Secara sosial, kondisi penjualan semacam ini akan
mengantarkan terhadap ketidakharmonisan antara penjual dan pembeli. Pembeli
ogah untuk kembali membeli barang-barangnya. Memang, selama pembeli tidak tahu
terhadap apa yang dilakukan oleh penjual tidak akan menjadi masalah. Tetapi
ingat, pembeli tidak semuanya bodoh yang bisa dikibuli terus menerus. Pada
saatnya nanti mereka akan komplain. Mereka akan meminta pertanggung jawaban
atas apa yang telah diperlakukan kepada dirinya. Intinya, jika perdagangan
semacam ini diterusberlangsungkan maka bukan keuntunganlah yang akan diraup tetapi
kehancuranlah yang telah menunggu.
Sementara jika ditinjau dari aspek hukum, tentu penjualan
semacam ini tidak dibenarkan oleh syari’at. Apapun alasannya, kalau diantara
hak penjual dan pembeli tidak terpenuhi maka suatu transaksi dinyatakan tidak
sah.
Sebagai tindakan preventif, penjual setidaknya tidak terlalu
mengedepankan keuntungan yang besar, karena dibalik itu semua ada hal yang
lebih penting diperhatikan yaitu kepuasan pembeli. Pedagang yang sukses
bukanlah pedagang yang banyak mengambil keuntungan tetapi pedagang yang bisa
membuat pembeli merasa puas. Wallahua’lam….
Oleh: Hafidz Wahyudi,
mahasiswa fakultas tarbiyah IAI Ibrahimy dan Mahasantri Marhalah ula
Sukorejo Situbondo Jatim, Img: tribunnews.
[1] Suherman, Pengantar Teori Ekonomi , Raja Walipress,
Jakarta, 2005, hal 3
[2] Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, Pustaka Pelajar,
yogyakarta, 2004, hal 49
Dunia Menurut Islam adalah sementara dan orang-orang tidak
melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya, malah melakukan hal-hal yang tidak
disukai Allah salah satunya adalah mengurangi timbangan.
Mengurangi timbangan adalah salah satu fenomena yang terjadi
sejak jaman dahulu hingga sekarang. Hal ini sudah sering dilakukan oleh para
pedagang atau pembisnis dan bukan menjadi hal yang tabu di masyarakat.
Para pedangan akan melakukan banyak cara untuk melakukan
penipuan dengan mengurangi timbangan. Misalnya saja, para pedagang yang
menggunakan timbangan tradisional. Mereka biasanya mengganjal timbangan
sehingga pengukuran menjadi lebih berat dari berat barang sebenarnya.
Akibatnya para pedagang akan mendapatkan keuntungan lebih,
sedangkan konsumen menjad dirugikan.
Tentu saja, hal ini tidak diperkenankan dalam Islam. Sebab
semua bentuk kecurangan adalah haram dan hal itu bukanlah Cara Bahagia Menurut
Islam dalam Kehidupan Dunia yang disukai Allah. Bagaimana hukum mengurangi
timbangan dalam Islam. Berikut adalah ulasannya.
Hukum mengurangi timbangan dalam Islam
Mengurangi timbangan adalah salah satu bentuk praktek
pencurian milik orang lain. Apabila takaran timbangan itu sedikit, bisa menjadi
sebuah ancaman dan akan menjadi ancaman yang lebih besar bila takaran timbangan
tersebut meningkat dengan jumlah yang besar.
Hukum mengurangi timbangan dalam Islam termasuk dalam dosa
besar atau sama dengan dosa orang yang melalaikan shalatnya. Allah akan membawa
pelakunya ke neraka Wayl (fawaiilul lil mushallin). Wailun atau Wayl adalah
lembah jahannam dimana bukit-bukit apabila dimasukkan ke dalamnya langsung
mencair karena amat panasnya.
Assayid berkata bahwa turunnya ayat ini saat Nabi Muhammaad
SAW hijrah ke Madinah, kemudian Nabi melihat Abu Juhainah yang memiliki dua
alat timbangan yaitu timbangan membeli untuk menguntungkan dirinya dan
timbangan menjual untuk merugikan pembelinya.
Ikrimah berkata bahwa beliau bersaksi bahwa tukang timbang
itu ada dalam neraka lalu seseorang menegur, “anakmu juga tukang timbang”.
Ikrimah mengatakan bahwa persaksilah dia pun akan juga berada dalam neraka.
Saayidina Ali r.a berkata bahwa janganlah meminta
kebutuhanmu dari seseorang yang rezekinya berada di ujung takaran dan
timbangan.
Hukamak berkata bahwa celakalah orang yang menjual
biji-bijian dengan takaran yang dikurangi sebab Allah akan mengurangi nikmat
surga yang seluas langit dan bumi dan menggantinya dengan menambah lubang di
dalam neraka dimana bukit-bukit akan mencair jika terkena panasnya.
Al-Syafi’i dari Malik bin Dinar berkata kepada keluarganya
“Apa kelakuannya dulu?” mereka menjawab “Dia memiliki dua timbangan yaitu untuk
menjual dan membeli, kemudian beliau menghancurkan keduanya’‘ dan berkata
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” ia menjawab “Tetap, bahkan sangat sukar” hingga
ia meninggal dengan keadaan sakit itu. Bahkan dalam kisah yang lain, ada
seseorang yang menghadiri orang yang akan meninggal, orang tersebut diajarkan
agar membaca kalimat tayyibah, namun ia berkata “Saya tidak bisa membaca
kalimat tersebut sebab jarum timbngan mengganjal lidah saya”, “Bukanya dulu
Anda menepati timbangan?”, “Benar, tetapi saya tidak membersihkan kotoran yang
terdapat pada takaran sehingga saya merugikan orang lain”
Sungguh kisah-kisah di atas adalah salah satu ancaman untuk
orang yang berani mengurangi timbangan dalam kegiatan jual beli. Bahkan hukum
tersebut telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadits :
أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا
تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ
وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ
الْمُسْتَقِيمِ
“Sempurnakan
takaran dan jangan menjadi orang yang merugikan. Dan timbanglah menggunakan
timbangan yang lurus.” (QS. Asy-Syu’ara 181-182)
“Jika kamu
menimbang harus ditepati” (HR. Ibnu Majah)
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ﴿١﴾الَّذِينَ
إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ﴿٢﴾وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ
يُخْسِرُونَ﴿٣﴾أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ
يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya : “Kecelakaan besar bagi orang yang curang. Yaitu
orang yang menerima takaran, harus dipenuhi. Dan apabila mereka menakar, mereka
akan mengurangi. Tidakkah orang-orang yakin mereka dibangkitakan pada hari yang
besar yaitu hari saat manusia menghadap Rabb semesta alam” (QS. Al-Muthaffifin
1-6)
Allah SWT menafsirkan muthaffifin sebagai perilaku
kecurangan. Kegiatan kecurangan tersebut seperti yang terkandung dalam ayat
tersebut adalah, apabila orang tersebut menakar untuk diri sendiri, mereka
meminta agar takarannya penuh bahkan meminta tambahan.
Namun, apabila mereka menakarkan untuk orang lain, mereka
akan mengurangi takaran tersebut, baik dengan alat timbangan yang direkayasa
atau dengan cara yang lain. Maka, hukum bagi orang yang melakukannya adalah
siksaan neraka yang dahsyat yaitu neraka Jahannam.
Sempurnakan Takaran dan Timbangan
Maka dari itu, Islam telah memberikan perintah untuk
menyempurnakan takaran dan timbangan. Allah SWT berfirman :
QS. Ar-Rahman : 9
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
“Dan tegakkan timbangan dengan adil dan jangan kamu
mengurangi neraca tersebut”
Al-An’am : 152
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ
نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan sempurnakan takaran serta timbangan secara adil. Kami
tidak akan memikulkan beban sesuai dengan kemampuannya.
Al-Isra’ : 35
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ
ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Dan baikkan takaran saat menakar, timbangn menggunakan
neraca. Sebab itu lebih utama dna lebih baik.”
Allah SWT
berfirman :
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا
اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ
ۚ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ﴿٨٤﴾وَيَا
قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ
أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ﴿٨٥﴾بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۚ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ
“Dan untuk penduduk Madyan. Kamu utus Syu’aib dan berkata,
“Hai kaumku, sembahlah Allah sebab tiada Tuhan selain Dia. Dan jangan
mengurangi takaran dan timbangan, aku melihat kamu mampu dan aku khawatir pada
azab yang membinasakan.” Syu’aib berkata, “Hai kaumku, takar dan timbanglah
dengan adil dan tidak merugikan hak mereka dan jangan melakukan kejahatan an
kerusakan. Sisa keuntungan dari Allah jika akmu beriman. Dan aku bukan menjaga
dirimu.” (Hud : 84-86)
Sebab-sebab seseorang melakukan tindakan kecurangan
diantaranya :
Kuranganya ilmu
dan pengetahuan tata cara berniaga dan berdagang yang baik menurut Islam
Tidak mendalami
fiqh buyu atau hukum-hukum jual beli dalam muamalah Islam.
Allah dan Rasul-Nya dengan tegas melarang kita untuk
mengurangi timbangan sebab ini adalah perbuatan merugikan. Apabila Fungsi Iman
Kepada Allah SWT, Rukun Iman dan Rukun Islam kita perkuat, tentu hal seperti
ini tidak akan terjadi. Jika mengurangi timbangan terus dilakukan, maka tidak
ada lagi kepercayaan dan kejujuran dari para pembeli.
Pembeli akan selalu merasa was-was membeli barang di pasar
sebab ia merasa bahwa ia harus membayar dengan jumlah yang sama, namun dengan
jumlah timbangan yang dikurangi.
Oleh sebab itu, pebisnis dan pedagang muslin harus selalu
memperhatikan timbangan dengan baik. Hindari mencari keuntungan dengan
mengurangi takaran. Pebisnis muslin harus mengutamakan kejujuran dan mencari
keuntungan dengan cara yang halal. Sehingga tak hanya keuntungan saja yang
didapat, akan tetapi ketentraman dan keberkahan juga.
Referensi :
0 komentar