Kalau dimaknakan secara bahasa, hablum minallah itu adalah
hubungan dengan Allah dan hablum minan-nas adalah hubungan dengan manusia. Akan
tetapi dalam pengertian istilah syari'ah maknanya adalah sebagai berikut:
1). Hablum minallah , maknanya ialah perjanjian dari Allah.
Yaitu masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi
mereka di dunia dan akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan
jaminan dari pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari'ah dalam perkara
hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga
negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia
di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat
Tafsir At-Thabari , Tafsir Al-Baghawi , dan Tafsir Ibnu Katsir tentang
pengertian surat Ali Imran 112).
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ
النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ۚ
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ
الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali
jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan
manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka
durhaka dan melampaui batas. (Q.S Ali Imran 112).
2). Hablum minan-nas , maknanya ialah perjanjian dari kaum
Mukminin dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi dengan membayar
upeti bagi kaum Mukminin melalui pemerintahnya untuk hidup sebagai warga negara
Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau dengan bahasa lain ialah dalam
berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan yang bisa dipercaya hanyalah
dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari'at Allah Ta'ala.
Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka
hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari'at-Nya
berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta'ala dan juga kerangka
hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama
manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari kerangka inilah kemudian
diuraikan kriteria akhlaqul karimah . Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya
dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah
dan menjauhi syirik , mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid'ah (yakni
penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi
akhlaqul karimah , yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta'ala dalam
firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ
عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang
agung.” ( Al-Qalam : 4)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan
tentang ayat ini:
“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia
itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya
adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah
perintahkan dengan mutlak.” ( Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman
658).
Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran
Allah yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah
Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :
“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi
rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang
pengertian daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:
“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab
yang diajarkan oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga
segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari
kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah
, jilid ke dua hal. 194).
Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat
amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud
dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A'isyah
radliyallahu `anha ).
Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi
rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan
makna hadits tersebut di atas:
“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi
keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang
shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian
pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia
itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu
dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka
itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang
itu. Sehingga dengan demikian, Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai
keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu
menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan
kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud
juz 13 halaman 154).
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam
menegaskan tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam
sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah
yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab
Husnul Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari
Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
Referensi :
0 komentar