Dalam mengonsumsi makanan, umat Islam diperintahkan untuk
memakan makanan yang halal dan thayyib. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan
pengertian tersebut? Kata halalan sendiri dalam bahasa Arab berakar kata Halla
yang artinya “Lepas” atau “Tidak terikat”.
Secara etimologi, dengan demikian kata halalan punya arti
hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan dengan alasan bebas dari atau tidak
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau secara gampang dan
sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi
dan ukhrawi.
Lalu, bagaimana dalam konteks pangan? Tentu saja makanan
halal adalah makanan yang boleh dikonsumsi, diproduksi dan diedarkan secara
komersial. Sementara, pengertian haram adalah segala sesuatu yang dilarang
syariat untuk dilakukan. Dengan demikian makanan haram adalah makanan yang tak
boleh diproduksi, dikonsumsi apalagi dikomersialkan.
Sementara, kata Thayyib berarti “Lezat”, “Baik” dan “Sehat”,
“mententeramkan”, “paling utama”. Terkait dengan makanan halal, kata thayib
berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa) atau
tercampur najis. Singkat kata, makanan yang tidak membahayakan fisik maupun
akalnya ketika mengonsumsinya. Itulah penertian makanan yang halal dan thayyib.
Semoga bermanfaat ya. (Zaidan Nafis/Halaltren.com).
Kata thayyib dalam Al-Quran
Thayyib adalah sebuah kata sifat yang berfungsi
paling dasar untuk menyatakan kualitas yang menjelaskan perasaan seperti sangat
menggembirakan, senang dan manis. Kata ini seringkali juga digunakan untuk mengkualifikasikan
baiknya rasa makanan, air, wangi-wangian dan sejenisnya. Di samping itu, kata
ini juga tepat diaplikasikan pada berbagai hal lain; oleh karna itu kita bisa temukan
beberapa kolaborasi kata dalam Al-Quran seperti; riih thayyibah ‘angin
yang baik’ yang membawa sebuah kapal diatas laut, sebagai lawan riih asifah
‘angin badai’ (QS. Yunus; 22), begitu juga dengan balad thayyib ‘daerah
dengan tanah yang baik dan subur (QS. Al-A’raf; 58), lalu masakin thayyibah
‘tempat tinggal yang menyenangkan’ yang berfungsi sebagai ungkapan untuk tempat
tinggal bagi laki-laki dan perempuan di surga ‘Adn (QS. At-Tawbah; 72).
Kata thayyib -walaupun tidak sering- dapat juga
digunakan dalam pengertian kualitas religius seorang hamba. Adalah sebuah
contoh yang tepat;. orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik
(thayyibiin) oleh Para Malaikat dengan mengatakan (kepada mereka):
"Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang
telah kamu kerjakan".(QS. An-Nahl; 32). Maka jelaslah dalam konteks
ini thayyib bisa menggantikan muttaqi yaitu ‘orang yang
takut kepada Allah’. Sedangkan pada ayat sebelumnya (QS. An-Nahl; 28) kata thayyibuun
dipertentangkan dengan zalimii anfusihim, yaitu ‘orang yang menganiaya
diri mereka sendiri, sepadan dengan sebuah ungkapan yang telah kita ketahui
bersama yaitu kafiruun.
Dalam frase al-kalimah at-thayyibah ‘ucapan
yang baik’ (QS. Ibrahim; 24) merupakan ungkapan yang menunjukan rumusan Tawhid;
‘tidak ada tuhan selain Allah’. Maka bagaimanapun juga makna baik disini haruslah
berarti ‘baik secara agama’ atau ‘shalih’, karna frase itu sendiri
berhubungan erat dengan al-amal as-shalih ‘perbuatan shalih’. Hal ini
sebagaimana ternyatakan dalam QS. Fathir ayat 10; “Barangsiapa yang
menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya.
Makanan yang thayyib
Penting untuk diperhatikan bahwa dalam ihwal makanan,
sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, merupakan sesuatu yang paling disorot
diantara berbagai benda yang dikelilingi oleh segala macam larangan. Al-Quran
memasukkan ide yang khusus, yaitu ‘pensucian’ dengan mengasosiasikan thayyib
dengan halal, yang berarti ‘sah menurut hukum’ dalam pengertian ‘bebas
dari semua larangan’. Maka dalam kasus makanan, thayyib hampir menjadi
sinonim dari halal, sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT; “Mereka
menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?".
Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik. (QS. Al-Maidah; 4). Dari
sini kita bisa menggariskan kesimpulan bahwa makanan yang thayyib seharusnya
merupakan makanan yang halal, bukanlah makanan yang thayyib apabila
Allah tidak menghalalkan makanan tersebut.
Perlu kita garisbawahi juga bahwa kata thayyib
–sebagian besar- dipertentangkan dengan khabits, dan sangat signifikan
selalu berkaitan dengan pertentangan antara kata halal-haram; “orang-orang
yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. (QS. Al-A’raf; 157).
Halal dalam Al-Quran
Bila kita telaah dengan seksama kata halal
dalam Al-Quran selalu dikaitkan dengan kata haram. Jika dikatakan dengan
tegas, haram adalah larangan, sedangkan halal menunjukkan apapun
yang tidak masuk ke dalam larangan, yaitu apapun yang ‘ditetapkan bebas’ dari
larangan itu. Haram diberlakukan pada tempat, benda, orang dan
tindakkan, lalu pada level selanjutnya haram merupakan sesuatu yang
tidak boleh didekati, tidak boleh disentuh. Kata haram dalam Al-Quran
menciptakan suatu konsepsi moral dan spiritual yang baru mengenai larangan, dan
memberikan sisi etik pada konsep haram yang dimiliki arab jahiliyyah;
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-A’raf; 33)
Dalam Al-Quran terdapat kata lain untuk menyatakan
‘barang tabu’ (haram). Untuk salah
satu contohnya Al-Quran mendatangkan kata; suht, sebagaimana yang
dimakan oleh orang Yahudi (QS. Al-Maidah; 62). Walaupun kita tidak bisa
mengatakan secara pasti tentang apa ‘barang larangan’ yang dimakan orang Yahudi
tersebut, sangat mungkin bahwa hal itu merujuk pada riba. Kita
mengetahui bahwa larangan memakan bunga dari uang yang dipinjamkan ditujukan
secara eksklusif kepada orang Yahudi; Dan disebabkan mereka memakan riba,
Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS. An-Nisa;
161)
Secara semantik kata haram memiliki hubungan
mendasar dengan rijs ‘kekotoran’. Dalam QS. Al-An’am; 145, Al-Quran
memaparkan susunan makanan yang terlarang bagi Muslim, yang mana dalam ayat itu
secara eksplisit ‘kekotoran’ menjadi alasan utama pelarangan bangkai, darah dan
daging babi. Lalu dengan alasan yang sama ‘kekotoran’ menjadi alasan pelarangan
bagi anggur yang memabukkan, permainan judi, syirk dan mengundi nasib dengan
anak panah. Dalam QS. Al-Maidah; 90 hal-hal tersebut dilarang karna dinilai
tidak bersih, rijsun min ‘amali asy-syaithan. Kata rijs di tempat
lain diperluas sampai kepada ‘penyakit’ yang ada dalam hati orang kafir QS.
At-Tawbah 125. Dan pada akhirnya kafir sendiri disebut rijs; Maka
berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor dan
tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
(QS. At-Tawbah; 95)
Lebih jauh lagi, makanan yang baik tidak akan menjadi
halal apabila tidak diproses dengan cara yang telah disyariatkan Allah SWT.
Seperti dalam QS. Al-An’am; 118, bahwa Allah mewajibkan kepada umat Muslim
untuk menyebut nama Allah sebelum menyembelih binatang-binatang untuk
dikonsumsi; “Maka
makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatNya.”
Lalu mengenai kata halal, secara semantik hanya
sedikit yang dapat diungkapkan. Namun, pada hakikatnya kata halal
menunjuk kepada segala sesuatu yang tidak ‘terlarang’, maka bukanlah sesuatu
yang halal apabila hal itu dilarang.
Halal juga merupakan sesuatu yang baik dan patut disyukuri; “Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah; 172).
Kesimpulan
Dari hasil kajian
semantik singkat yang baru kita lakukan tadi, kita bisa menarik kesimpulan penting.
Bahwa sesuatu yang halalan thayyiban haruslah berupa sesuatu yang baik,
produktif, menyenangkan serta shalih, bukan menurut ukuran manusia
tetapi menurut ukuran Allah Tuhannya manusia, sebagaimana yang telah Allah
terangkan dalam kitabNya dan sunnah nabiNya. Halal dan thayyib juga
harus berkonotasi terhadap ketaqwaan terhadap Allah, serta harus dikonsumsi
atau digunakan dengan cara yang telah disyariatkan Allah.
Barang haram adalah barang
yang kotor, bagi jasmani maupun bagi rohani. Barang haram tidak hanya akan
mengotori dan menyakiti tubuh fisik, tetapi juga akan mengotori jiwa dan
mempengaruhi akhlaq dan mendatangkan penyakit hati. Sebab itu marilah kita
senantiasa berusaha memperoleh hal-hal yang halal dan menjauhi hal-hal yang
haram. Wallahu a’lam bishowab.
Referensi :
0 komentar