Suara Terbanyak Bukanlah Kebenaran

By Unknown - 19.33




Dalam politik apalagi sistem demokrasi, suara terbanyak menempati posisi yang terhormat. Sebagaimana teorinya demokrasi sebagai pemerintahan mayoritas atau suara terbanyak. Kekuatan apapun yang mendominasi dalam sistem demokrasi akan sangat mewarnai/menentukan kebijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam implementasinya suara terbanyak diakui melalui pemilu. Maka pemilu juga menjadi titik sentral dalam proses berdemokrasi. Keberhasilan pemilu dijadikan salah satu standar kualitas demokrasi yang berjalan dalam sebuah negara. Sebagaimana Indonesia pernah dikatakan sebagai Negara paling demokratis karena pemilu 2004 sangat sukses. Namun hingga kini Negara yang memiliki kualitas demokrasi bagus tidak otomatis Negara jadi sejahtera. Justru fakta yang ada, dan diakui oleh pejuang demokrasi sendiri kalau demokrasi belum mampu memberikan kesejahteraan.
Bila kesejahteraan belum mampu diberikan demokrasi kepada rakyat, mengapa demokrasi masih dijalankan? walaupun negeri ini sudah menjalankan model demokrasi dan pemimpin yang bermacam-macam. Mulai demokrasi terpimpin ala Soekarno, demokrasi pancasila ala Soeharto, demokrasi liberal ala rezim reformasi, semuanya tidak memberikan kesejahteraan pada rakyat. Sehingga lebih tepatnya demokrasi bukan saja belum mampu tapi memang tidak mampu memberikan kesejahteraan. Bila demikian mengapa tetap dijalankan? jawabannya karena masih diyakininya suara terbanyak membawa kebenaran. Inilah satu alasan dasar yang harus diluruskan, agar masyarakat bisa melepaskan demokrasi.
Banyak orang masih percaya suara terbanyak membawa kebenaran bahkan diklaim sebagai suara tuhan. Sehingga berbagai keputusan sering ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Baik ditingkat rumah tangga, RT hingga DPR atau MPR, suara terbanyak diterapkan dalam semua bidang kehidupan. Peraturan dan perundang-undangan juga terjebak dalam suara terbanyak, karena seringkali mengikuti survey atau polling lembaga penelitian dan media massa. Padahal faktanya dimanapun dan kapanpun, jumlah orang yang ahli itu jauh lebih sedikit daripada yang biasa, sehingga bila semua masalah diserahkan pada suara terbanyak maka bukan kebenaran dan kebaikan yang didapat justru terlihat kebodohan dan keburukan. Seorang ahli saja bisa salah karena pemahamannya terhadap ilmu atau salah mengidentifikasi realitas, apalagi orang awam yang tidak berilmu dan tidak mampu melihat realitas secara mendalam. Sehingga bila mengikuti suara terbanyak maka mengikuti masyarakat yang tidak memahami apa-apa, itu berarti mengarah pada kemunduran dan kehancuran.
Begitu juga pernyataan suara rakyat suara tuhan, faktanya justru antara yang menjadi suara mayoritas masyarakat bertentangan dengan suara tuhan yang tertulis dalam berbagai kitab suci. Aktivitas mempertontonkan aurat atau daerah erotis hingga legalitas perzinaan, miras, perjudian dengan berbagai macamnya dalam lokalisasi, dan praktek riba atas nama bunga secara jelas berlawanan dengan suara tuhan dalam kitab suci. Pergeseran budaya timur menjadi kebarat-baratan yang dikuti oleh mayoritas masyarakat jelas bertentangan dengan norma agama apapun, bukan saja Islam.
Aktivitas mencampuradukkan antara yang benar dan yang salah juga banyak dilakukan atas nama manfaat dalam pandangan manusia atau hanya karena toleransi yang tidak jelas. Seharusnya negeri ini menjadi negara mayoritas “muslim” berdasarkan suara terbanyak tapi karena alasan kebersamaan justru mayoritas menjadi minoritas dalam mewarnai kehidupan bernegara.
Untuk mencari kebenaran berdasarkan suara terbanyak seharusnya hanya masalah umum yang semua orang mampu memahami, bukan permasalah yang jelas berdasarkan kacamata tuhan dalam kitab suci atau permasalahan yang membutuhkan keahlian.
Bila dievaluasi secara menyeluruh akan menemukan sebuah kesimpulan yang paling jelas bahwa suara terbanyak manusia selama ini dikenakan kepada semua bidang kehidupan. Sehingga suara terbanyak tidaklah selalu menghantarkan pada kebenaran, justru sebaliknya menimbulkan ketidakseimbangan antara yang kaya dan miskin, antara yang kuat dan lemah hingga alampun mengembalikan dampaknya pada kebanyakan manusia berupa bencana. Kedudukan kebenaran Tuhan lebih banyak dihapus dan digantikan suara terbanyak atau orang-orang ahli yang tidak menyakini kebenaran Tuhan. Sehingga bukan saja suara terbanyak salah, juga penilaian seorang ahli juga salah, karena mereka tidak mempunyai dasar yang pasti dalam memahami kehidupan dunia ini. Ilmu dunia tanpa dasar Ilmu dari Tuhan hanyalah perjalanan trial and error semata, dalam prosesnya banyak salahnya daripada benarnya.
Maha benar Allah SWT dalam al Qur’an, suara terbanyak justru dicela. Sangat banyak ayat yang mencela manusia yang mengikuti segala sesuatu tanpa pengetahuan dan suara terbanyak, karena kehancuran akan terjadi bila manusia mengikuti suara terbanyak. Sekarang sudah terbukti, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan yang diterima manusia tapi justru bencana dan kehancuran dimana-mana.
Manusia kini berupaya mencari solusi akan berbagai bencana, tapi semakin jauh dari kebenaran Allah maka akan semakin besar bencana yang ditimpahkan kepada manusia. Oleh karena itu, bila kita tidak ingin tertimpa bencana dan ketidakberdayaan dalam kehidupan semakin besar, maka harus ada upaya meninggalkan suara terbanyak sebagai dasar kebenaran dan beralih kepada Firman Allah Yang Maha Benar dalam kitab suci al Qur’an.
Allah SWT berfirma: Wa in tuthi’ aktsara man fi al-ardh yudhiluka ‘an sabilillah (Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah). Ayat ini memberikan penagasan berikutnya mengenai tidak layaknya manusia mencari hakim selain Allah SWT. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa Allah SWT telah menurunkan kitabnya yang terperinci sehingga tidak perlu lagi mencari hukum selainnya; kitab yang tidak layak diragukan karena berasal darinya; dan telah sempurna, kebenaran dan keadilannya. Realitas ini menjadi argumentasi tak terbantahkan bagi orang yang mencari hakim selain Allah SWT dan mencari hukum selain yang berasal dari-Nya.
Ayat ini memberikan tambahan argumentasi tentang tidak layaknya manusia mencari hakim selain Allah atau hukum selain berasal dari-Nya . tatkala manusia tidak mau menjadikan Allah SWT sebagai hakim, berarti dia akan mencari hakim selainnya. Kemungkinan besar, pihak yang dijadikan hakim itu adalah manusia. Ayat ini memberikan peringatan tetang bathilnya tindakan tersebut.
Kata aktsara dalam ayat ini bermakna sebagai aghlab (sebagian besar). Sedangkan man fi mal ardh (sebagian besar penghuni muka bumi) menunjukan kepada al-nas (manusia). Demikian penafsiran Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya. Penafsiran yang sama juga dikemukakan Al-Baidhawi. Menurutnya sebagian besar manusia itu menginginkan kekufuran, bodoh, dan menjadi pengikut hawa nafsu. Al-Nasafi menafsirkan frasa tersebut sebagai al-kuffar (orang-orang kafir). Alasanyya mereka adalah mayoritas.
Ayat ini pun memeberikan penegasan, apabila menaati sebagian besar meraka, maka yang terjadi adalah : yudhiluka ‘an sabilillah (menyesatkan kamu dari jalan Allah). Yang dimaksud dengan sabilil-Lah disini adalah agama-Nya. Demikian penjelasan para musafir, seperti Al-Nasafi , al-Wahidi, al-Zuhaili, dan lain-lain. Tak jauh berbeda al-Samarqandi dan al-Jazairi, islam mengantarkan seorang muslim kepada keridhaan Allah dan kemuliaan dalam lindungan-Nya.
Meraka memang tidak layak diikuti dan ditaati disebakan karena tidak memiliki bukti dan pengetahuan tentang kebenaran , ditegaskan dalam kalimat selanjutnya: in yattabi’una illa al zhanna ( meraka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka). Huruf  in dalam ayat ini, . karena diiringi dengan isttitsna (yakni kata illa),  maka bermakna nafiy. Sehingga ayat ini memnerikan pembatasan bahwa yang mereka ikuti adalah al-zhann semata. Dugaan prasangkaan disini merupakan kebalikan dari al-ilm (pengetahuan yang pasti dan didasarka pada bukti yang kuat). Karena tidak memiliki bukti dan ilmu , tentu tidak layak diikuti. Maka sungguh aneh, jika  masih ada yang lebih memilih mengikuti meraka dibandingkan dengan mengikuti kitab-Nya yang dijamin pasti kebenarannya.
Kemudian disebutkan: wa in hum illa yakhrushun ( dan mereka tidak lain hanyalah berdusta [kepada Allah]).  Sebagaiman huruf in seperti dalam kalimat sebelumnya, huruf tersebut bermakn nafiy. Sehingga ayat ini memberikan pembatasan bahwa mereka itu benar-benar berdusta atas nama Allah SWT. Mereka mengatakan sesuatu yang tidak pernah difirmankan oleh Allah SWT.
Dijelaskan oleh al-Baidhawi, mereka atas nama Allah SWT pada perkara yang dinisbahkan  kepada-Nya, seperti menjadikan anak (bagi  Allah), menjadikan penyembahan terhadap patung dan penghubung kepada Allah, menghalalkan bangkai, mengharamkan al-bahair (yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya; pen), atau mengira bahwa mereka di atas sesuatu  dan hakikat apa yang dikatakan bersumber dari persangkaan dan perkiraan.
Menurut fakhruddin al-razi, ayat ini menunjukan bahwa sebagian besar penduduk berada dalam kesesatan. Sebab penyesatan harus didahului dengan kesesatan. Menurutnya, penyesatan dan keseatan tersebut tidak keluar dari tiga keadaan. Pertama, persoalan yang berkaitan dengan ketuhanan. Sebenarnya kebenaran dalam persoalan ini hanya satu. Sedangkan yang batil amat banyak. Diantaranya adalah perkataan tetang kasyirikan. Bisa yang dikatakan zindiq yang diberikan dalam firman-Nya dalam QS al An’am[6]: 100). Atau bagaimana diatakan oleh para penyembah bintang dan penyembah patung.
Kedua, persoalan ini yang berkaitan dengan kenabian. Bisa seperti yang dikatakan oleh orang yang mengingkari kenabian secara mutlak; orang yang mengingkari beritanya saja; atau yang hanya mengingkari persoalan yang berkaitan dengan akhirat.
Dan ketiga, persoalan yang berkaitan dengan hukum. Dalam hal ini amat banyak. Sesungguhnya orang-orang kafir mengharamkan al-bahair, al-sawaib(unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nazar), dan al-washdil (seekor domba betina anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina. Maka yang jantan ini disebut washilah),dan menghalakan bangkai. Oleh karena itu Allah SWT berfirman : dan jika kamu menuruti orang2 yang dimuka bumi.mereka dalam hukum yang mereka yakini sebagai batilan adalah adalah kebenaran. Semuanya itu menyesatkan kamu dari jalan Allah. Yakni dari jalan dan manhaj yang benar.
Tak jauh berbeda, al-Zuhailli juga mengatakan, ayat ini menunjukan bahwa sebagian besar penduduk muka bumi dalam kesesatan. . Dalam akidah mereka tidak meninggalkan kesyirikan dan dalam kenabian mereka mengingkarinnya. Demikian pula dengan hukum syara’, seperti menghalalkan bangkai, darah, dan khamr; mengharamkan al-bahair, al-sawaib, dan al-washail.
Berdasarkan ayat ini, ibnu katsir juga mengatakan bahwa sebagaian besar manusia dalam kesesatan. Hal ini juga diberitakan dalam beberapa ayat lainnya, seperti firman Allah SWT :
وَلَقَدْ ضَلَّ قَبْلَهُمْ أَكْثَرُ الْأَوَّلِينَ
dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang hulu  (QS al-shaffat [37]: 71).
Juga firmannya dalam menegaskan bahwa :
المر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ ۗ وَالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ
Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Quran). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (QS al-Ra’d[13] 1).
 Alqur’an sudah menegaskan. Oleh karena itu, kebenaran tidak ditemukan oleh mayoritas atau minoritas suatu rakyat,  melainkan didasarkan pada wahyu, sebab kebenaran itu bersumber dari Allah SWT, dzat yang maha benar dan maha mengetahui. Inilah yang ditegaskan dalam ayat berikutnya :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(Q.S Surat An-Nahl Ayat 125)
Meskpun demikian, suara mayoritas bukan bukan berarti tidak boleh digunakan sama sekali.suara terbanyak dapat sebagai dasar keputusan dalam menjalankan suatu amal yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Inilah yang dilakukan nabi SAW ketika hendak memutuskan cara dalam menghadapai pasukan Quraisy padaperang uhud. [ust. Rohmat S. Labib]

Referensi :

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar