Dalam politik apalagi sistem demokrasi, suara terbanyak
menempati posisi yang terhormat. Sebagaimana teorinya demokrasi sebagai
pemerintahan mayoritas atau suara terbanyak. Kekuatan apapun yang mendominasi
dalam sistem demokrasi akan sangat mewarnai/menentukan kebijakan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam implementasinya suara terbanyak diakui melalui pemilu.
Maka pemilu juga menjadi titik sentral dalam proses berdemokrasi. Keberhasilan
pemilu dijadikan salah satu standar kualitas demokrasi yang berjalan dalam
sebuah negara. Sebagaimana Indonesia pernah dikatakan sebagai Negara paling
demokratis karena pemilu 2004 sangat sukses. Namun hingga kini Negara yang
memiliki kualitas demokrasi bagus tidak otomatis Negara jadi sejahtera. Justru
fakta yang ada, dan diakui oleh pejuang demokrasi sendiri kalau demokrasi belum
mampu memberikan kesejahteraan.
Bila kesejahteraan belum mampu diberikan demokrasi kepada
rakyat, mengapa demokrasi masih dijalankan? walaupun negeri ini sudah
menjalankan model demokrasi dan pemimpin yang bermacam-macam. Mulai demokrasi
terpimpin ala Soekarno, demokrasi pancasila ala Soeharto, demokrasi liberal ala
rezim reformasi, semuanya tidak memberikan kesejahteraan pada rakyat. Sehingga
lebih tepatnya demokrasi bukan saja belum mampu tapi memang tidak mampu
memberikan kesejahteraan. Bila demikian mengapa tetap dijalankan? jawabannya
karena masih diyakininya suara terbanyak membawa kebenaran. Inilah satu alasan
dasar yang harus diluruskan, agar masyarakat bisa melepaskan demokrasi.
Banyak orang masih percaya suara terbanyak membawa kebenaran
bahkan diklaim sebagai suara tuhan. Sehingga berbagai keputusan sering
ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Baik ditingkat rumah tangga, RT hingga
DPR atau MPR, suara terbanyak diterapkan dalam semua bidang kehidupan.
Peraturan dan perundang-undangan juga terjebak dalam suara terbanyak, karena
seringkali mengikuti survey atau polling lembaga penelitian dan media massa.
Padahal faktanya dimanapun dan kapanpun, jumlah orang yang ahli itu jauh lebih
sedikit daripada yang biasa, sehingga bila semua masalah diserahkan pada suara
terbanyak maka bukan kebenaran dan kebaikan yang didapat justru terlihat
kebodohan dan keburukan. Seorang ahli saja bisa salah karena pemahamannya
terhadap ilmu atau salah mengidentifikasi realitas, apalagi orang awam yang
tidak berilmu dan tidak mampu melihat realitas secara mendalam. Sehingga bila
mengikuti suara terbanyak maka mengikuti masyarakat yang tidak memahami apa-apa,
itu berarti mengarah pada kemunduran dan kehancuran.
Begitu juga pernyataan suara rakyat suara tuhan, faktanya
justru antara yang menjadi suara mayoritas masyarakat bertentangan dengan suara
tuhan yang tertulis dalam berbagai kitab suci. Aktivitas mempertontonkan aurat
atau daerah erotis hingga legalitas perzinaan, miras, perjudian dengan berbagai
macamnya dalam lokalisasi, dan praktek riba atas nama bunga secara jelas
berlawanan dengan suara tuhan dalam kitab suci. Pergeseran budaya timur menjadi
kebarat-baratan yang dikuti oleh mayoritas masyarakat jelas bertentangan dengan
norma agama apapun, bukan saja Islam.
Aktivitas mencampuradukkan antara yang benar dan yang salah
juga banyak dilakukan atas nama manfaat dalam pandangan manusia atau hanya karena
toleransi yang tidak jelas. Seharusnya negeri ini menjadi negara mayoritas
“muslim” berdasarkan suara terbanyak tapi karena alasan kebersamaan justru
mayoritas menjadi minoritas dalam mewarnai kehidupan bernegara.
Untuk mencari kebenaran berdasarkan suara terbanyak
seharusnya hanya masalah umum yang semua orang mampu memahami, bukan permasalah
yang jelas berdasarkan kacamata tuhan dalam kitab suci atau permasalahan yang
membutuhkan keahlian.
Bila dievaluasi secara menyeluruh akan menemukan sebuah
kesimpulan yang paling jelas bahwa suara terbanyak manusia selama ini dikenakan
kepada semua bidang kehidupan. Sehingga suara terbanyak tidaklah selalu
menghantarkan pada kebenaran, justru sebaliknya menimbulkan ketidakseimbangan
antara yang kaya dan miskin, antara yang kuat dan lemah hingga alampun
mengembalikan dampaknya pada kebanyakan manusia berupa bencana. Kedudukan
kebenaran Tuhan lebih banyak dihapus dan digantikan suara terbanyak atau
orang-orang ahli yang tidak menyakini kebenaran Tuhan. Sehingga bukan saja
suara terbanyak salah, juga penilaian seorang ahli juga salah, karena mereka
tidak mempunyai dasar yang pasti dalam memahami kehidupan dunia ini. Ilmu dunia
tanpa dasar Ilmu dari Tuhan hanyalah perjalanan trial and error semata, dalam
prosesnya banyak salahnya daripada benarnya.
Maha benar Allah SWT dalam al Qur’an, suara terbanyak justru
dicela. Sangat banyak ayat yang mencela manusia yang mengikuti segala sesuatu
tanpa pengetahuan dan suara terbanyak, karena kehancuran akan terjadi bila
manusia mengikuti suara terbanyak. Sekarang sudah terbukti, bukan kesejahteraan
dan kebahagiaan yang diterima manusia tapi justru bencana dan kehancuran
dimana-mana.
Manusia kini berupaya mencari solusi akan berbagai bencana,
tapi semakin jauh dari kebenaran Allah maka akan semakin besar bencana yang
ditimpahkan kepada manusia. Oleh karena itu, bila kita tidak ingin tertimpa
bencana dan ketidakberdayaan dalam kehidupan semakin besar, maka harus ada
upaya meninggalkan suara terbanyak sebagai dasar kebenaran dan beralih kepada
Firman Allah Yang Maha Benar dalam kitab suci al Qur’an.
Allah SWT berfirma: Wa in tuthi’ aktsara man fi al-ardh
yudhiluka ‘an sabilillah (Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah). Ayat ini
memberikan penagasan berikutnya mengenai tidak layaknya manusia mencari hakim
selain Allah SWT. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa Allah SWT telah
menurunkan kitabnya yang terperinci sehingga tidak perlu lagi mencari hukum
selainnya; kitab yang tidak layak diragukan karena berasal darinya; dan telah
sempurna, kebenaran dan keadilannya. Realitas ini menjadi argumentasi tak
terbantahkan bagi orang yang mencari hakim selain Allah SWT dan mencari hukum
selain yang berasal dari-Nya.
Ayat ini memberikan tambahan argumentasi tentang tidak
layaknya manusia mencari hakim selain Allah atau hukum selain berasal dari-Nya
. tatkala manusia tidak mau menjadikan Allah SWT sebagai hakim, berarti dia
akan mencari hakim selainnya. Kemungkinan besar, pihak yang dijadikan hakim itu
adalah manusia. Ayat ini memberikan peringatan tetang bathilnya tindakan
tersebut.
Kata aktsara dalam ayat ini bermakna sebagai aghlab
(sebagian besar). Sedangkan man fi mal ardh (sebagian besar penghuni muka bumi)
menunjukan kepada al-nas (manusia). Demikian penafsiran Al-Zamakhsyari dalam
tafsirnya. Penafsiran yang sama juga dikemukakan Al-Baidhawi. Menurutnya
sebagian besar manusia itu menginginkan kekufuran, bodoh, dan menjadi pengikut
hawa nafsu. Al-Nasafi menafsirkan frasa tersebut sebagai al-kuffar (orang-orang
kafir). Alasanyya mereka adalah mayoritas.
Ayat ini pun memeberikan penegasan, apabila menaati sebagian
besar meraka, maka yang terjadi adalah : yudhiluka ‘an sabilillah (menyesatkan
kamu dari jalan Allah). Yang dimaksud dengan sabilil-Lah disini adalah
agama-Nya. Demikian penjelasan para musafir, seperti Al-Nasafi , al-Wahidi,
al-Zuhaili, dan lain-lain. Tak jauh berbeda al-Samarqandi dan al-Jazairi, islam
mengantarkan seorang muslim kepada keridhaan Allah dan kemuliaan dalam
lindungan-Nya.
Meraka memang tidak layak diikuti dan ditaati disebakan
karena tidak memiliki bukti dan pengetahuan tentang kebenaran , ditegaskan
dalam kalimat selanjutnya: in yattabi’una illa al zhanna ( meraka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka). Huruf
in dalam ayat ini, . karena diiringi dengan isttitsna (yakni kata
illa), maka bermakna nafiy. Sehingga
ayat ini memnerikan pembatasan bahwa yang mereka ikuti adalah al-zhann semata.
Dugaan prasangkaan disini merupakan kebalikan dari al-ilm (pengetahuan yang
pasti dan didasarka pada bukti yang kuat). Karena tidak memiliki bukti dan ilmu
, tentu tidak layak diikuti. Maka sungguh aneh, jika masih ada yang lebih memilih mengikuti meraka
dibandingkan dengan mengikuti kitab-Nya yang dijamin pasti kebenarannya.
Kemudian disebutkan: wa in hum illa yakhrushun ( dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta [kepada Allah]).
Sebagaiman huruf in seperti dalam kalimat sebelumnya, huruf tersebut
bermakn nafiy. Sehingga ayat ini memberikan pembatasan bahwa mereka itu
benar-benar berdusta atas nama Allah SWT. Mereka mengatakan sesuatu yang tidak
pernah difirmankan oleh Allah SWT.
Dijelaskan oleh al-Baidhawi, mereka atas nama Allah SWT pada
perkara yang dinisbahkan kepada-Nya,
seperti menjadikan anak (bagi Allah),
menjadikan penyembahan terhadap patung dan penghubung kepada Allah,
menghalalkan bangkai, mengharamkan al-bahair (yang telah beranak lima kali dan
anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya; pen), atau
mengira bahwa mereka di atas sesuatu dan
hakikat apa yang dikatakan bersumber dari persangkaan dan perkiraan.
Menurut fakhruddin al-razi, ayat ini menunjukan bahwa
sebagian besar penduduk berada dalam kesesatan. Sebab penyesatan harus
didahului dengan kesesatan. Menurutnya, penyesatan dan keseatan tersebut tidak
keluar dari tiga keadaan. Pertama, persoalan yang berkaitan dengan ketuhanan.
Sebenarnya kebenaran dalam persoalan ini hanya satu. Sedangkan yang batil amat
banyak. Diantaranya adalah perkataan tetang kasyirikan. Bisa yang dikatakan
zindiq yang diberikan dalam firman-Nya dalam QS al An’am[6]: 100). Atau
bagaimana diatakan oleh para penyembah bintang dan penyembah patung.
Kedua, persoalan ini yang berkaitan dengan kenabian. Bisa
seperti yang dikatakan oleh orang yang mengingkari kenabian secara mutlak;
orang yang mengingkari beritanya saja; atau yang hanya mengingkari persoalan
yang berkaitan dengan akhirat.
Dan ketiga, persoalan yang berkaitan dengan hukum. Dalam hal
ini amat banyak. Sesungguhnya orang-orang kafir mengharamkan al-bahair,
al-sawaib(unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nazar),
dan al-washdil (seekor domba betina anak kembar yang terdiri dari jantan dan
betina. Maka yang jantan ini disebut washilah),dan menghalakan bangkai. Oleh
karena itu Allah SWT berfirman : dan jika kamu menuruti orang2 yang dimuka
bumi.mereka dalam hukum yang mereka yakini sebagai batilan adalah adalah
kebenaran. Semuanya itu menyesatkan kamu dari jalan Allah. Yakni dari jalan dan
manhaj yang benar.
Tak jauh berbeda, al-Zuhailli juga mengatakan, ayat ini
menunjukan bahwa sebagian besar penduduk muka bumi dalam kesesatan. . Dalam
akidah mereka tidak meninggalkan kesyirikan dan dalam kenabian mereka
mengingkarinnya. Demikian pula dengan hukum syara’, seperti menghalalkan
bangkai, darah, dan khamr; mengharamkan al-bahair, al-sawaib, dan al-washail.
Berdasarkan ayat ini, ibnu katsir juga mengatakan bahwa
sebagaian besar manusia dalam kesesatan. Hal ini juga diberitakan dalam
beberapa ayat lainnya, seperti firman Allah SWT :
وَلَقَدْ ضَلَّ قَبْلَهُمْ
أَكْثَرُ الْأَوَّلِينَ
dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy)
sebagian besar dari orang-orang yang hulu (QS al-shaffat [37]: 71).
Juga firmannya dalam menegaskan bahwa :
المر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ
ۗ وَالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يُؤْمِنُونَ
Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al
Quran). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar:
akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (QS al-Ra’d[13] 1).
Alqur’an sudah
menegaskan. Oleh karena itu, kebenaran tidak ditemukan oleh mayoritas atau
minoritas suatu rakyat, melainkan
didasarkan pada wahyu, sebab kebenaran itu bersumber dari Allah SWT, dzat yang
maha benar dan maha mengetahui. Inilah yang ditegaskan dalam ayat berikutnya :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(Q.S Surat
An-Nahl Ayat 125)
Meskpun demikian, suara mayoritas bukan bukan berarti tidak
boleh digunakan sama sekali.suara terbanyak dapat sebagai dasar keputusan dalam
menjalankan suatu amal yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak membutuhkan
keahlian khusus. Inilah yang dilakukan nabi SAW ketika hendak memutuskan cara
dalam menghadapai pasukan Quraisy padaperang uhud. [ust. Rohmat S. Labib]
Referensi :
0 komentar