Manusia Sebagai Makhluk Siyasah

By Unknown - 19.19



Manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat (zoon politicon). Keutuhan manusia akan tercapai apabila manusia sanggup menyelaraskan perannya sebagai makhluk ekonomi dan sosial. Sebagai makhluk sosial (homo socialis), manusia tidak hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain dalam beberapa hal tertentu. Misalnya, dalam lingkungan manusia terkecil yaitu keluarga. Dalam keluarga, seorang bayi membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan sehat.
Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri.Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial yang yang selalu memiliki ketergantungan, bahkan sejak ia masih berupa segumpal darah dalam rahim seorang wanita. Hal ini tergambar dari wahyu pertama ayat kedua yang diterima oleh Nabi. Sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab bahwa makna dari khalaqal insana min ‘alaq bukan saja diartikan sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau sesuatu yang berdempet di dinding rahim”,  tetapi dapat dipahami juga sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri”. Jadi mnusia akan slalu bergantung pada segala apa yang ada disekitarnya.
Dalam dunia sosial masyarakat, manusia memiliki tingkat kecerdasan, kemampuan dan status sosial yang berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini juga tergambar dalam Q. s.al Zukhruf 43:32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.( Q.S .al Zukhruf 43:32)
Dalam hidup bermasyarakat setiap orang akan menghadapi manusia dengan berbagai corak dan watak yang berbeda-beda. Tentunya sebagai bagian dari masyarakat, seseorang ada kalanya menjadi pelaku (fa’il/ subjek) atau yang diperlakukan (maf’ul bihi/ objek). Terkadang memberi dan adakalanya diberi. Bila ingin menjadi anggota masyarakat yang baik, hendaklah berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya. Membimbing mereka kepada jalan kebaikan dan kemaslahatan serta mencegah mereka dari hal-hal yang membahayakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi manusia.” (HR. Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)
Apa yang manusia berikan kepadanya adalah salah satu dari dua perkara:
1. Kadang ia diperlakukan baik oleh mereka, maka hendaklah ia berterima kasih dan membalas kebaikan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ

“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1954)
Dalam Alquran, kita disebutkan sebagai makhluk politik disebabkan sebuah alasan bahwa Allah SWT menghadirkan kita di atas punggung bumi ini sebagai wakil-Nya atau sebagai khalifah-Nya yang bertugas mengatur dan memakmurkan bumi ini. Kita terlahir dengan titipan misi langit nan agung yang harus kita semaikan di atas muka bumi agar tumbuh menjadi pohon kehidupan yang indah. Supaya siapapun manusia akan merasakan indahnya kehidupan ini dengan menjalankan kehendak-kehendak Allah.
Adakah makna tertinggi dari fungsi politik yang diwakilkan dengan kata khalifah? Itulah kata yang merangkum semua derivat kata politik dan fungsinya di atas muka bumi ini. Jadi, memisahkan Islam dari kegiatan politik hanyalah kesia-siaan, seperti sulitnya kita memisahkan rasa dingin dari saljunya dan memisahkan rasa panas dari mataharinya.
Islam secara tegas menyuruh ummatnya memiliki salah satu kualifikasi manusia peradaban sebagai manusia politik, yaitu politik yang berketuhanan atau dalam istilah lain: siyasah syar'iyah.
Allah adalah Maha sempurna, karenanya agama ini adalah kumpulan nilai kesempurnaan sebagai panduan dari langit untuk hidup di atas bumi. Namun disitulah letak masalahnya, kita bukan makhluk yang sempurna, kita bukanlah perangkat yang selalu stabil dengan tujuan dan agenda itu sendiri.
 “Wakhuliqol insaanu dhoiifaa..", demikian bahasa Alauran tentang kita bahwa Allah telah menciptakan kita dalam keadaan penuh kelemahan. Tapi kita tidak kuatir dengan masalah itu, karena Allah sendirilah yang sudah membuat jalan keluanya dengan firman-Nya dalam surat At Taghaabun ayat 16," Fattaqullaha mastatho'tum..." , maka bertakwalah kalian sesuai dengan kesanggupan kalian.
Bagi pejuang politik Islam, ini menjadi penting karena kita akan mengkondisikan ummat agar apa yang diinginkan Allah. Itu pula yang menjadi keinginan manusia, hukum yang Allah SWT perintahkan juga menjadi hukum yang diterapkan manusia, namun di situlah ruang yang penting untuk kita pahami.
Karena, praktiknya dalam kehidupan ini tidak seideal itu. Saat agama ini berisikan daftar perintah dan larangan dari Allah SWT dan ketika turun ke bumi mengalami dua aspek "diskon" dalam aplikasinya. Pertama, adalah saat Islam berhadapan dengan realitas atau kenyataan lapangan. Kedua saat berhadapan dengan kelemahan manusia itu sendiri.
Saat berbenturan dengan kondisi realitas, sebagai syariat yang memiliki sifat kelenturan dan keluwesan, Islam menghadapinya dengan baik. Itulah sebabnya ulama kita membekali salah satu ilmu alat dengan fikih waqi' atau fikih realitas karena disitu berhadapan bagaimana Islam membumikan syariatnya agar bisa dijalankan.
Aspek diskon yang kedua adalah saat kumpulan nilai-nilai Islam yang ideal itu tak pernah mengenal reduksi. Masalahnya adalah kadar kita dalam menjalankannya yang selalu mengalami reduksi karena memang sifat asal kita. Itulah sebabnya kita diminta bertakwa sesuai kadar kesanggupan paling maksimal, sebab tiada yang bisa "sempurna" dalam ketakwaan.
Jadi, Islam yang kita amalkan sejak Rasulullah SAW wafat yang sepanjang sejarah penuh dengan fluktuasi peradabannya bukanlah yang sempurna. Namun, itulah netto kita dalam beragama ini setelah mengalami dua diskon dalam lapangan kenyataan dan dalam diri kita.
Karena itulah jika para pejuang hanya menulis agenda perjuangannya yang ideal-ideal saja dan bahkan sangat rigit dan teknis, maka dia bisa terjerumus pada gerakan yang akan menyalahkan semuanya, baginya semua tidak ada yang ideal dalam kacamatanya.
Saat bersamaan kita sangat paham bahwa adakah benar-benar gerakan Islam yang ideal dan bahkan sudah membumikan yang ideal itu? Sehingga tak satupun gambaran kesuksesan perjuangan Islam di pentas muka bumi ini untuk diapresiasi, karena yang ada dalam benak kita adalah kumpulan-kumpulan nilai idealisme yang rigit dan teknis sebelum mengalami "diskon".
Itulah yang dikatakan Ibnu Aqil, “Jikalau yang Anda maksudkan dengan syariat Islam itu harus sesuai dengan apa yang pernah di contohkan Rasulullah SAW adalah salah. Namun jika yang Anda maksudkan adalah tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan ajaran Rasulullah, maka itulah yang benar.”

Referensi :

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar