Manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat (zoon
politicon). Keutuhan manusia akan tercapai apabila manusia sanggup
menyelaraskan perannya sebagai makhluk ekonomi dan sosial. Sebagai makhluk
sosial (homo socialis), manusia tidak hanya mengandalkan kekuatannya sendiri,
tetapi membutuhkan manusia lain dalam beberapa hal tertentu. Misalnya, dalam
lingkungan manusia terkecil yaitu keluarga. Dalam keluarga, seorang bayi
membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara
baik dan sehat.
Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan
dirinya sendiri.Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol
untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari
individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai makhluk
sosial yang yang selalu memiliki ketergantungan, bahkan sejak ia masih berupa
segumpal darah dalam rahim seorang wanita. Hal ini tergambar dari wahyu pertama
ayat kedua yang diterima oleh Nabi. Sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab
bahwa makna dari khalaqal insana min ‘alaq bukan saja diartikan sebagai
“menciptakan manusia dari segumpal darah” atau sesuatu yang berdempet di
dinding rahim”, tetapi dapat dipahami
juga sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak
lain atau tidak dapat hidup sendiri”. Jadi mnusia akan slalu bergantung pada segala
apa yang ada disekitarnya.
Dalam dunia sosial masyarakat, manusia memiliki tingkat
kecerdasan, kemampuan dan status sosial yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Hal ini juga tergambar dalam Q. s.al Zukhruf 43:32
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ
رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ
وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami
telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.( Q.S .al Zukhruf 43:32)
Dalam hidup bermasyarakat setiap orang akan menghadapi
manusia dengan berbagai corak dan watak yang berbeda-beda. Tentunya sebagai
bagian dari masyarakat, seseorang ada kalanya menjadi pelaku (fa’il/ subjek)
atau yang diperlakukan (maf’ul bihi/ objek). Terkadang memberi dan adakalanya
diberi. Bila ingin menjadi anggota masyarakat yang baik, hendaklah berusaha
memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya. Membimbing mereka kepada jalan
kebaikan dan kemaslahatan serta mencegah mereka dari hal-hal yang membahayakan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ
لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi
manusia.” (HR. Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)
Apa yang manusia berikan kepadanya adalah salah satu dari
dua perkara:
1. Kadang ia diperlakukan baik oleh mereka, maka hendaklah
ia berterima kasih dan membalas kebaikan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ
لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti
tidak bersyukur kepada Allah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1954)
Dalam Alquran, kita disebutkan sebagai makhluk politik
disebabkan sebuah alasan bahwa Allah SWT menghadirkan kita di atas punggung
bumi ini sebagai wakil-Nya atau sebagai khalifah-Nya yang bertugas mengatur dan
memakmurkan bumi ini. Kita terlahir dengan titipan misi langit nan agung yang
harus kita semaikan di atas muka bumi agar tumbuh menjadi pohon kehidupan yang
indah. Supaya siapapun manusia akan merasakan indahnya kehidupan ini dengan
menjalankan kehendak-kehendak Allah.
Adakah makna tertinggi dari fungsi politik yang diwakilkan
dengan kata khalifah? Itulah kata yang merangkum semua derivat kata politik dan
fungsinya di atas muka bumi ini. Jadi, memisahkan Islam dari kegiatan politik
hanyalah kesia-siaan, seperti sulitnya kita memisahkan rasa dingin dari
saljunya dan memisahkan rasa panas dari mataharinya.
Islam secara tegas menyuruh ummatnya memiliki salah satu
kualifikasi manusia peradaban sebagai manusia politik, yaitu politik yang
berketuhanan atau dalam istilah lain: siyasah syar'iyah.
Allah adalah Maha sempurna, karenanya agama ini adalah
kumpulan nilai kesempurnaan sebagai panduan dari langit untuk hidup di atas
bumi. Namun disitulah letak masalahnya, kita bukan makhluk yang sempurna, kita
bukanlah perangkat yang selalu stabil dengan tujuan dan agenda itu sendiri.
“Wakhuliqol insaanu
dhoiifaa..", demikian bahasa Alauran tentang kita bahwa Allah telah
menciptakan kita dalam keadaan penuh kelemahan. Tapi kita tidak kuatir dengan
masalah itu, karena Allah sendirilah yang sudah membuat jalan keluanya dengan
firman-Nya dalam surat At Taghaabun ayat 16," Fattaqullaha
mastatho'tum..." , maka bertakwalah kalian sesuai dengan kesanggupan
kalian.
Bagi pejuang politik Islam, ini menjadi penting karena kita
akan mengkondisikan ummat agar apa yang diinginkan Allah. Itu pula yang menjadi
keinginan manusia, hukum yang Allah SWT perintahkan juga menjadi hukum yang
diterapkan manusia, namun di situlah ruang yang penting untuk kita pahami.
Karena, praktiknya dalam kehidupan ini tidak seideal itu.
Saat agama ini berisikan daftar perintah dan larangan dari Allah SWT dan ketika
turun ke bumi mengalami dua aspek "diskon" dalam aplikasinya.
Pertama, adalah saat Islam berhadapan dengan realitas atau kenyataan lapangan.
Kedua saat berhadapan dengan kelemahan manusia itu sendiri.
Saat berbenturan dengan kondisi realitas, sebagai syariat
yang memiliki sifat kelenturan dan keluwesan, Islam menghadapinya dengan baik.
Itulah sebabnya ulama kita membekali salah satu ilmu alat dengan fikih waqi'
atau fikih realitas karena disitu berhadapan bagaimana Islam membumikan syariatnya
agar bisa dijalankan.
Aspek diskon yang kedua adalah saat kumpulan nilai-nilai
Islam yang ideal itu tak pernah mengenal reduksi. Masalahnya adalah kadar kita
dalam menjalankannya yang selalu mengalami reduksi karena memang sifat asal
kita. Itulah sebabnya kita diminta bertakwa sesuai kadar kesanggupan paling
maksimal, sebab tiada yang bisa "sempurna" dalam ketakwaan.
Jadi, Islam yang kita amalkan sejak Rasulullah SAW wafat
yang sepanjang sejarah penuh dengan fluktuasi peradabannya bukanlah yang
sempurna. Namun, itulah netto kita dalam beragama ini setelah mengalami dua
diskon dalam lapangan kenyataan dan dalam diri kita.
Karena itulah jika para pejuang hanya menulis agenda
perjuangannya yang ideal-ideal saja dan bahkan sangat rigit dan teknis, maka
dia bisa terjerumus pada gerakan yang akan menyalahkan semuanya, baginya semua
tidak ada yang ideal dalam kacamatanya.
Saat bersamaan kita sangat paham bahwa adakah benar-benar
gerakan Islam yang ideal dan bahkan sudah membumikan yang ideal itu? Sehingga
tak satupun gambaran kesuksesan perjuangan Islam di pentas muka bumi ini untuk
diapresiasi, karena yang ada dalam benak kita adalah kumpulan-kumpulan nilai
idealisme yang rigit dan teknis sebelum mengalami "diskon".
Itulah yang dikatakan Ibnu Aqil, “Jikalau yang Anda
maksudkan dengan syariat Islam itu harus sesuai dengan apa yang pernah di
contohkan Rasulullah SAW adalah salah. Namun jika yang Anda maksudkan adalah
tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan ajaran Rasulullah, maka
itulah yang benar.”
Referensi :
0 komentar