Manusia Makhluk Individu dan Sosial

By Unknown - 19.14



Manusia dalam kehidupannya tidaklah bergantung pada diri sendiri. Setiap tindakan yang akan dilakukan seorang manusia pasti berhubungan dan membutuhkan orang lain. Manusia selain disebut sebagai makhluk individu,  juga disebut sebagai makhluk sosial. Manusia dengan kodratnya sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup seorang diri. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Adapun tafsir Al-Qur’an mengenai manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial tertera dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 71:
1.    Ayat Al-Qur’an
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ-٧١-
Artinya:
Dan orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka menjadi para penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan melaksanakan shalat secara berkesinambungan, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana {71}.[1]
2.    Penjelasan Kata
a.    (وَالْمُؤْمِنُونَ) Wal Mukminuuna: Yang benar dalam keimanan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan beriman pada adanya ancaman serta janji Allah.
b.    (أَوْلِيَاء بَعْضٍ)Auliyaa’u Ba’dh: Saling memberikan pertolongan, melindungi, mencintai dan memberikan dukungan.
c.    (وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ) Wa Yuqiimuuna ash-Shalaata: Menunaikan shalat dengan khusyu serta memenuhi syarat, rukun, sunah dan adab-adabnya.
d.   (وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ) Wa Yu’tuuna az-Zakaata: Mengeluarkan zakat harta benda mereka yang tidak bergerak, seperti emas, dirham dan mata uang yang lain atau dari harta yang bergerak berupa binatang ternak, seperti onta, sapi dan kambing.[2]
3.    Tafsir Ayat
Kaum Mukminin dan Mukminat, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (orang-orang) pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
a.    Wal mu’minūna (kaum Mukminin), yakni kaum lelaki yang membenarkan.
b.    Wal mu’minātu (dan Mukminat), yakni kaum perempuan yang membenarkan.
c.    Ba‘dluhum auliyā-u ba‘dl (sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain), yakni berada dalam satu agama, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
d.   Ya’murūna bil ma‘rūfi (mereka menyuruh [orang-orang] pada yang makruf), yakni kepada tauhid dan meneladani Nabi Muhammad saw.
e.    Wa yanhauna ‘anil mungkari (mencegah dari yang mungkar), yakni dari kekafiran, kemusyrikan, dan tak meneladani Nabi Muhammad saw.
f.     Wa yuqīmūnash shalāta (mendirikan shalat), yakni menyempurnakan shalat lima waktu.
g.    Wa yu’tūnaz zakāta (menunaikan zakat), yakni mengeluarkan zakat harta mereka.
h.    Wa yuthī’ūnallāha wa rasūlah (serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya), baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
i.      Ulā-ika sa yarhamuhumullāh (mereka itu akan dirahmati oleh Allah), yakni Allah tidak akan mengazab mereka.
j.      Innallāha ‘azīzun (sesungguhnya Allah Maha Perkasa) dalam kerajaan dan Kekuasaan-Nya.
k.    Hakīm (lagi Maha Bijaksana) dalam perintah dan ketetapan-Nya.[3]
Ayat ini menerangkan bahwa orang mukmin, pria maupun wanita saling menjadi pembela di antara mereka. Selaku mukmin ia membela mukmin lainnya karena hubungan agama. Wanita pun selaku mukminah turut membela saudara-saudaranya dari kalangan laki-laki mukmin karena hubungan seagama sesuai dengan fitrah kewanitaannya.
Akhir ayat ini menegaskan bahwa Allah pasti akan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki sesuai dengan amalan-amalan yang telah dikerjakannya.
Istri-istri rasulullah dan istri-istri para sahabat turut ke medan perang bersama-sama tentara Islam untuk menyediakan air minum dan menyiapkan makanan karena orang-orang mukmin itu sesama mereka terikat oleh tali keimanan yang membangkitkan rasa persaudaraan, kesatuan, saling mengasihi dan saling tolong-menolong. Kesemuanya itu didorong oleh semangat setia kawan yang menjadikan mereka sebagai satu tubuh atau satu bangunan yang saling menguatkan dalam menegakkan keadilan dan meninggikan kalimah Allah. Sifat mukmin yang seperti itu banyak dinyatakan oleh hadis-hadis Nabi Muhammad antara lain, seperti sabdanya:
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد اذا اشتكي منه عضو تداعي له سائر الجسد بالحمى والسهر (رواه البخاري ومسلم عن النعمان بن بشير)
Artinya:
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, saling menyantuni dan saling membantu seperti satu jasad, apabila salah satu anggota menderita, seluruh anggota jasad itu merasakan demam dan tidak tidur. (riwayat Al Buchori dan Muslim dari Nu’man bin Basyir).
Sifat-sifat yang dimiliki orang mukmin antara lain:
a.    Orang mukmin selalu mengajak berbuat baik dan melarang perbuatan mungkar.
b.    Orang mukmin mengerjakan sholat dengan khusyu’ dengan hati yang ikhlas.
c. Orang mukmin selain mengeluarkan zakat, tangan mereka selalu terbuka untuk menciptakan kesejahteraan umat dan memberikan sumbangan sosial.
d.   Orang mukmin selalu taat kepada Allah dengan cara meninggalkan perbuatan perbuatan maksiat dan mengerjakan segala perintah menurut kesanggupan mereka.[4] 


Daftar Pustaka :
[1] M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 198. 
[2] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar (Jilid 3), terj. Fityan Amaliy dan Edi Suwanto (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012), 418.

[3] Ibnu Abbas, Al-Kalam Digital Versi 0.1 (Bandung: Diponegoro, 2009), 198.
[4]Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani, 1999), 631-632.



Dalam Al-Qur’an istilah manusia ditemukan tiga kosakata yang berbeda dengan makna manusia, akan tetapi memiliki substansi yang berbeda, yaitu kata basyar, insan dan al-nas.
            Manusia dalam perspektif Islam terdiri atas aspek jasmaniah (basyar) dan rohaniah (insan). Kata insan yang mengandung arti manusia memiliki tiga makna  yaitu absara atau melihat (Q.S 20:10), ‘alima atau mengetahui (Q.S 4:6) dan isti’zan atau meminta izin (Q.S 24:27) . Dengan kata lain, manusia sebagai insan merupakan makhluk yang berdimensi ruhaniah yang memiliki aktivitas. Sedangkan kata basyar mengandung makna lahiriah yang memiliki kebiasaan makan, hubungan seks dan berjasmani. Implikasinya, manusia memiliki kebutuhan jasmaniah (nutrisi), rohaniah (emosi, spiritual) dan lingkungan (kesehatan lingkungan).[1]
            Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama, lahir kata kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
            Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Kata basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari tanah liat atau lemung kering (al-Hijr: 33 ; al-Ruum: 20). Karena itu Nabi Muhammad S.A.W diperintah untuk menyampaikan bahwa :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (Q.S Al-kahfi (18): 110).
           
Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata  basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehinga mencapai tahap kedewasaan.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Q.S Al-Rum (30): 20).

Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan  dan tanggungjawab. Karena itu pula Maryam a.s mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu berhubu ngan seks) (Q.S Ali Imran (3): 47).
Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memilkul tanggungjawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar (perhatikan QS Al-Hijr [15]: 28 yang menggunakan kata basyar ) dan juga QS Al-Baqarah [2]: 30 yang menggunakan kata khalifah yang keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada malaikat tentang manusia.
Kata Insan disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali, di antaranya QS al-Alaq: 5 yaitu :
عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S al-Alaq [96]: 5
Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusai sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah (al-Ahzab: 72).[2]
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini, jika di tinjau dari sudut pandangan Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa) atau nasa-yanusa (berguncang).
Kata insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.[3]
Kata al-Nas disebut sebanyak 240 kali, seperti QS Al-Zumar: 27 yaitu
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan.(Q.S Al-Zumar: 27).

Konsep al-Nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif.
Dengan demikian Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia sebagai basyar diartikan sebagai makhluk yang membutuhkan materi, manusia sebagai insan diartikan sebagai makhluk yang memiliki aspek kejiwaan, dan al-nas diartikan sebagai makhluk sosial, maka dapat dipahami bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada penciptanya, yaitu Allah. Pengertian penyembahan kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin dalam shalat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia pada hukum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dengan manusia dan alam semesta).[4]
proses kejadian manusia sebagaimana dikemukakan dalam surah al-alaq dan al-mu’minun ayat 12-14 telah terbukti sejalan dengan apa yang dijelaskan berdasarkan analisis ilmu pengetahuan. Namun yang terpenting dari itu bukanlah terletak pada ditemukannya kesesuaian antara ajaran al-qur’an dengan ilmu pengetahuan, tetapi yang terpenting adalah agar timbul kesadaran pada manusia, bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dan selanjutnya ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kelak di akhirat. Kesadaran ini selanjutnya diharapkan dapat menimbulkan sikap merasa sama dengan manusia lainnya (egaliter), rendah hati, bertanggungjawab, beribadah dan beramal saleh.
            Selanjutnya kalimat khalqan akbar (makhluk yang berbentuk lain) yang terdapat pada ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa di samping manusia memiliki unsur fisik sebagaimana dimiliki makhluk lainnya, namun ia juga memiliki potensi lain. Menurut H.M Quraish Shihab, bahwa potensi lain itu adalah adanya unsur ilahiyah (ruh ilahiyah) yang dihembuskan Tuhanpada saat bayi berusia empat bulan dalam kandungan. Perpaduan unsur fisik-jasmaniah dengan unsur psikis-rohaniah inilah yang selanjutnya membentuk manusia. Dari sini pula selanjutya manusia dianugerahi potensi jarmaniah pancaindera berupa penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan, dan potensi rohaniah berupa dorongan, naluri dan kescenderungan seperti kecenderungan beragama, bermasyarakat, memiliki harta, penghargaan, kedudukan, pengetahuan dan teman hidup lawan jenis. [5]
Kenapa manusia pertama datang sebagai nabi dan otoritas yang ditunjuk oleh Allah SWT, padahal tampaknya lebih alamiah menurut proses evolusi kalau manusia pertama datang sebagai manusia biasa, lalu setelah sampai pada tingkat perkembangan yang cukup tinggi barulah salah satunya di angkat menjadi nabi. Ini merupakan satu poin yang layak dipertimbangkan. Menurut Al-Qur’an manusia petama sangat tinggi kedudukannya :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan (Inagatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudia mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama ini jika kamu memang benar!” (QS al-Baqarah: 30-31)

Ringkas kata, manusia membuat para malaikat terkejut. Mengapa demikian? Mengenai manusia, digunakan kata-kata “Dan meniupkan ke dalamnya roh-ku.” (QS. Al-Hijr: 29) ini menunjukkan bahwa di dalam struktur manusia ini ada satu unsur yang lebih tinggi di samping unsur material, dan unsur yang lebih tinggi inilah yang digambarkan oleh kata-kata di atas. Dengan kata laian, dalam struktur manusia ini ada sesuatu yang sangat istimewa yang diletakkan oleh Allah SWT yang menjadikannya sebagai khalifah-Nya.[6]


[1] Momon Sudama, sosiologi untuk kesehatan (Jakarta; Salemba Medika, 2012) h. 23
[2] UNM, Pendidikan Agama Islam (Makassar, 2014)  h. 4
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung; Mizan, 1996)  h. 367-369
[4] UNM, Pendidikan Agama Islam (Makassar, 2014)  h. 6
[5] H. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) h.46-47
[6] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (Jakarta: Lentera, 2002) cet. II h. 530-531
  



Individu berasal dari bahasa latin individuum yang artinya tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dipakai untuk menyatakan satu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia secara keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan terbatas, yaitu perseorangan manusia, demikian pendapat Dr. A. Lysen.
            Manusia lahir sebagai makhluk individual yang bermakna tidak terbagi atau tidak terpisahkan antara jiwa dan raga. Secara biologis, manusia lahir dengan kelengkapan fisik, tidak berbeda dengan makhluk hewani. Namun, rohania ia sangat berbeda dengan makhluk hewani apapun. Jiwa manusia merupakan satu kesatuan dengan raganya untuk selanjunya melakukann aktivitas atau kegiatan. Kegiatan manusia tidak semata-mata digerakkan oleh jasmaninya, tetapi juga aspek rohaninya. Manusia mengerahkan seluruh jiwa raganya untuk berkegiatan dalam hidupnya.
            Dalam perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya bermakna kesatuan jiwa dan raga, tetapi akan menjadi pribadi yang khas dengan corak kepribadiannya, termasuk kemampuan kecakapannya. Dengan demikian, manusia sebagai individu merupakan pribadi yang terpisah, berbeda dari pribadi lain. Manusia sebagai makhluk individu adalah manusia sebagai perseorangan yang memiliki sifat sendiri-sendiri. Manusia sebagai individu adalah bersifat nyata, berbeda dengan manusia lain dan sebagai pribadi dengan ciri khas tertentu yang berupaya merealisasikan potensi dirinya.
            Setiap manusia memiliki perbedaan. Hal itu dikarenakan manusia memiliki karakteristik sendiri. Ia memiliki sifat, watak, keinginan, kebutuhan, dan cita-cita yang berbeda satu sama lainnya. Setiap maunusia diciptakan oleh Tuhan dengan ciri dan karakteristik yang unik yang satu sama lain berbeda. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk individu adalah unik. Setiap orang berbeda, bahkan orang yang dikatakan kembar pun pasti memiliki perbedaan. Jadi, meskipun banyak persamaan hakiki antarindividu, tetap tidak ada dua individu yang sama.
            Pertumbuhan dan perkembangan individu menjadi pribadi yang khas tidak terjadi dalam waktu sekejap, melainkan terentang sebagai kesinambungan perkembangan sejak masa janin, bayi, anak, remaja, dewasa, sampai tua. Istilah pertumbuhan lebih tertuju pada segi fisik atau biologis individu, sedangkan perkembangan lebih tertuju pada segi mental psikologis individu.
            Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor. Mengenai hal tersebut ada tiga pandangan, yaitu :
1.2.3.1.1 pandangan nativistik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata ditentukan atas dasar faktor dari dalam individu sendiri, seperti bakat dan potensi, termasuk pula hubungan atau kemiripan dengan orang tuanya.
1.2.3.1.2 pandangan empiristik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata didasarkan atas faktor lingkungan. Lingkunganlah yang akan menentukan pertumbuhan seseorang.
1.2.3.1.3 pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu dipengaruhi oleh faktor diri individu dan lingkungan. Bakat anak merupakan potensi yang harus disesuaikan dengan diciptakannya lingkungan yang baik sehingga ia bisa tumbuh secara optimal.[1]
            Pada dasarnya, kegiatan atau aktivitas seseorang ditujukan untuk memenuhi kepentingan diri dan kebutuhan diri. Sebagai makhluk dengan kesatuan jiwa dan raga, maka aktivitas individu adalah untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan jiwa, rohani, atau psikologis, serta kebutuhan jasmani atau biologis. Pemenuhan kebutuhan tersebut adalah dalam rangka menjalani kehidupannya.
            Pandangan yang mengembangankan pemikiran bahwa manusia pada dasarnya adalah individu yang bebas dan merdeka adalah paham individualisme. Paham individualisme menekankan pada kekhususan, martabat, hak, dan kebebasan orang per orang. Manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka tidak terikat apa pun dengan masyarakat ataupun negara. Manusia bisa berkembang dan sejahera hidupnya serta berlanjut apabila dapat bekerja secara bebas dan berbuat apa saja untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Sebagai makhluk individu, manusia berusaha memenuhi kepentingan atau mengejar kebahagiaan sendiri. Motif tindakannya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang meliputi kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Penekanan pada kepentingan diri memunculkan sifat individualistik dalam diri pribadi yang bersangkutan. Di samping itu, faktor pemenuhan atas kepentingan diri tersebut juga menjadikan individu akan saling bersaing untuk hal tersebut.
            Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai individu, dapat diketahui bahwa manusia memiliki harkat dan martabat, manusia memiliki hak-hak dasar, setiap manusia memiliki potensi diri yang khas, dan setiap manusia memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.


[1] Drs. Herimanto, M.Pd., M.Si. & Winarno, S.Pd., M.Si, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) cet. III  h.42
 

  

            Manusia sebagai individu ternyata tidak mampu hidup sendiri. Ia dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lain. Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu lainnya.
Beberapa ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan bagian dari penciptaannnya. Allah Berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)

Dengan demikian, ayat ini memecahkan problem sosial, karena syarat penting kehidupan bermasyarakat adalah mampu mengenal satu sama lain. Kalau saja tak ada bangsa dan suku yang merupakan ciri pemersatu dan pembeda, maka mustahil mengidentifikasi orang, dan akibatnya adalah mustahil ada kehidupan sosial yang dasarnya adalah saling berhubugan antar manusia.[1]
            Benarkah manusia sebagai makhluk sosial? Sejak manusia dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang laian terutama dalam hal kebutuhan makan dan minum.pada usia bayi, ia sudah menjalin hubugan terutama dengan ayah dan ibu, dalam bentuk gerakan, senyuman dan kata-kata. Pada usia 4 tahuan, ia mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada usia-usia selanjutnya, ia terikat dengan norma-norma pergaulan dengan lingkungan yang semakin luas. Manusia hidup dalam lingkungan sosialnya.
            Berdasarkan proses di atas, manusia lahir dengan keterbatasan, dan secara naluriah menusia membutuhkan hidup dengan manusia lainnya. Manusia sejak lahir dipelihara dan dibesarkan dalam suatu masyarakat terkecil yaitu keluarga. Keluarga terbentuk karena adanya pergaulan antaranggota sehingga dapat dikatakan bahwa berkeluarga merupakan kebutuhan manusia. Esensinya, manusia memerlukan orang lain atau hidup dalam kelompoknya. Allah berfirman :
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.. (QS. Al-Furqan: 54)

Jadi, menurut kodratnya, manusia di mana pun pada zaman apa pun, selalu hidup bersama, hidup berkelompok. Dalam sejarah perkembangan manusia tidak terdapat seorang pun yang hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya. Hidup menyendiri, terlepas dari pergaulan masyarakat hanya mungkin terjadi dalam dongen belaka (seperti Tarzan, Robinson Crusoe), namun dalam kenyataannya, hal itu tidak mungkin terjadi. Sejak dulu, pada diri manusia terdapar hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam satu kelompok, hasrat untuk bermasyarakat.
            Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena sifatnya yang ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun sebagai manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan orang lain. Allah berfirman :
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpukan. (QS. Az-Zukhruf: 32).

            Ayat ini menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan sama bakat dan kemampuannya. Seandainya diciptakan sama, tentu setiap orang memiliki apa yang dimiliki orang lain, dan tidak memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain.


[1] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (Jakarta: Lentera, 2002) cet. II h. 270

 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar