Manusia dalam
kehidupannya tidaklah bergantung pada diri sendiri. Setiap tindakan yang akan
dilakukan seorang manusia pasti berhubungan dan membutuhkan orang lain. Manusia
selain disebut sebagai makhluk individu, juga disebut sebagai makhluk
sosial. Manusia dengan kodratnya sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup
seorang diri. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia
lainnya. Adapun tafsir Al-Qur’an mengenai manusia sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial tertera dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 71:
1. Ayat Al-Qur’an
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ-٧١-
Artinya:
Dan orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang
mukmin perempuan, sebagian mereka menjadi para penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan melaksanakan shalat
secara berkesinambungan, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa,
lagi Maha Bijaksana {71}.[1]
2.
Penjelasan Kata
a. (وَالْمُؤْمِنُونَ)
Wal
Mukminuuna: Yang benar dalam keimanan mereka kepada Allah dan
Rasul-Nya dan beriman pada adanya ancaman serta janji Allah.
b. (أَوْلِيَاء
بَعْضٍ)Auliyaa’u Ba’dh:
Saling memberikan pertolongan, melindungi, mencintai dan memberikan dukungan.
c. (وَيُقِيمُونَ
الصَّلاَةَ) Wa Yuqiimuuna
ash-Shalaata: Menunaikan shalat dengan khusyu serta
memenuhi syarat, rukun, sunah dan adab-adabnya.
d. (وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ) Wa Yu’tuuna az-Zakaata:
Mengeluarkan zakat harta benda mereka yang tidak bergerak, seperti emas, dirham
dan mata uang yang lain atau dari harta yang bergerak berupa binatang ternak,
seperti onta, sapi dan kambing.[2]
3.
Tafsir Ayat
Kaum
Mukminin dan Mukminat, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (orang-orang) pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan dirahmati oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
a. Wal
mu’minūna (kaum Mukminin), yakni kaum lelaki yang membenarkan.
b. Wal
mu’minātu (dan Mukminat), yakni kaum perempuan yang membenarkan.
c. Ba‘dluhum
auliyā-u ba‘dl (sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain), yakni
berada dalam satu agama, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
d. Ya’murūna
bil ma‘rūfi (mereka menyuruh [orang-orang] pada yang makruf), yakni kepada
tauhid dan meneladani Nabi Muhammad saw.
e. Wa
yanhauna ‘anil mungkari (mencegah dari yang mungkar), yakni dari kekafiran,
kemusyrikan, dan tak meneladani Nabi Muhammad saw.
f. Wa
yuqīmūnash shalāta (mendirikan shalat), yakni menyempurnakan shalat lima waktu.
g. Wa
yu’tūnaz zakāta (menunaikan zakat), yakni mengeluarkan zakat harta mereka.
h. Wa
yuthī’ūnallāha wa rasūlah (serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya), baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
i. Ulā-ika
sa yarhamuhumullāh (mereka itu akan dirahmati oleh Allah), yakni Allah tidak
akan mengazab mereka.
j. Innallāha
‘azīzun (sesungguhnya Allah Maha Perkasa) dalam kerajaan dan Kekuasaan-Nya.
k. Hakīm
(lagi Maha Bijaksana) dalam perintah dan ketetapan-Nya.[3]
Ayat ini menerangkan bahwa orang
mukmin, pria maupun wanita saling menjadi pembela di antara mereka. Selaku
mukmin ia membela mukmin lainnya karena hubungan agama. Wanita pun selaku
mukminah turut membela saudara-saudaranya dari kalangan laki-laki mukmin karena
hubungan seagama sesuai dengan fitrah kewanitaannya.
Akhir ayat ini menegaskan bahwa
Allah pasti akan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada orang-orang yang
dikehendaki sesuai dengan amalan-amalan yang telah dikerjakannya.
Istri-istri rasulullah dan
istri-istri para sahabat turut ke medan perang bersama-sama tentara Islam untuk
menyediakan air minum dan menyiapkan makanan karena orang-orang mukmin itu
sesama mereka terikat oleh tali keimanan yang membangkitkan rasa persaudaraan,
kesatuan, saling mengasihi dan saling tolong-menolong. Kesemuanya itu didorong
oleh semangat setia kawan yang menjadikan mereka sebagai satu tubuh atau satu
bangunan yang saling menguatkan dalam menegakkan keadilan dan meninggikan
kalimah Allah. Sifat mukmin yang seperti itu banyak dinyatakan oleh hadis-hadis
Nabi Muhammad antara lain, seperti sabdanya:
مثل
المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد اذا اشتكي منه عضو تداعي له سائر
الجسد بالحمى والسهر (رواه البخاري ومسلم عن النعمان بن بشير)
Artinya:
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling
mengasihi, saling menyantuni dan saling membantu seperti satu jasad, apabila
salah satu anggota menderita, seluruh anggota jasad itu merasakan demam dan
tidak tidur. (riwayat Al Buchori dan Muslim dari
Nu’man bin Basyir).
Sifat-sifat yang dimiliki orang
mukmin antara lain:
a. Orang
mukmin selalu mengajak berbuat baik dan melarang perbuatan mungkar.
b. Orang
mukmin mengerjakan sholat dengan khusyu’ dengan hati yang ikhlas.
c. Orang
mukmin selain mengeluarkan zakat, tangan mereka selalu terbuka untuk
menciptakan kesejahteraan umat dan memberikan sumbangan sosial.
d. Orang mukmin selalu taat kepada Allah dengan cara meninggalkan perbuatan perbuatan maksiat dan mengerjakan segala perintah menurut kesanggupan mereka.[4]
d. Orang mukmin selalu taat kepada Allah dengan cara meninggalkan perbuatan perbuatan maksiat dan mengerjakan segala perintah menurut kesanggupan mereka.[4]
Daftar Pustaka :
[1] M. Quraish
Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 198.
[2] Syaikh Abu
Bakar Jabir Al-Jazairi, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar (Jilid 3), terj.
Fityan Amaliy dan Edi Suwanto (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012), 418.
[3] Ibnu Abbas, Al-Kalam Digital
Versi 0.1 (Bandung: Diponegoro, 2009), 198.
[4]Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani, 1999), 631-632.
Dalam Al-Qur’an istilah manusia ditemukan tiga kosakata yang
berbeda dengan makna manusia, akan tetapi memiliki substansi yang berbeda,
yaitu kata basyar, insan dan al-nas.
Manusia dalam
perspektif Islam terdiri atas aspek jasmaniah (basyar) dan rohaniah (insan).
Kata insan yang mengandung arti manusia memiliki tiga makna yaitu absara atau melihat (Q.S 20:10), ‘alima
atau mengetahui (Q.S 4:6) dan isti’zan atau meminta izin (Q.S 24:27) .
Dengan kata lain, manusia sebagai insan merupakan makhluk yang berdimensi
ruhaniah yang memiliki aktivitas. Sedangkan kata basyar mengandung makna
lahiriah yang memiliki kebiasaan makan, hubungan seks dan berjasmani.
Implikasinya, manusia memiliki kebutuhan jasmaniah (nutrisi), rohaniah (emosi,
spiritual) dan lingkungan (kesehatan lingkungan).[1]
Kata basyar
terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan
baik dan indah. Dari akar kata yang sama, lahir kata kata basyarah yang
berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan
berbeda dengan kulit binatang yang lain.
Al-Qur’an
menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam
bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta
persamaannya dengan manusia seluruhnya. Kata basyar selalu dihubungkan pada
sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari tanah liat atau lemung
kering (al-Hijr: 33 ; al-Ruum: 20). Karena itu Nabi Muhammad S.A.W diperintah
untuk menyampaikan bahwa :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ
كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya".
(Q.S Al-kahfi (18): 110).
Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
menggunakan kata basyar yang
mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui
tahap-tahap sehinga mencapai tahap kedewasaan.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah,
kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Q.S Al-Rum (30): 20).
Bertebaran di
sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran
mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang
yang memiliki kedewasaan dan
tanggungjawab. Karena itu pula Maryam a.s mengungkapkan keheranannya dapat
memperoleh anak padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia
dewasa yang mampu berhubu ngan seks) (Q.S Ali Imran (3): 47).
Demikian
terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang
menjadikannya mampu memilkul tanggungjawab. Dan karena itu pula, tugas
kekhalifahan dibebankan kepada basyar (perhatikan QS Al-Hijr [15]: 28
yang menggunakan kata basyar ) dan juga QS Al-Baqarah [2]: 30 yang
menggunakan kata khalifah yang keduanya mengandung pemberitaan Allah
kepada malaikat tentang manusia.
Kata Insan
disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali, di antaranya QS al-Alaq: 5 yaitu :
عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S al-Alaq
[96]: 5
Konsep insan
selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusai sebagai makhluk
yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah (al-Ahzab: 72).[2]
Kata insan terambil
dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat
ini, jika di tinjau dari sudut pandangan Al-Qur’an lebih tepat dari yang
berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa) atau nasa-yanusa
(berguncang).
Kata insan
digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya,
jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat
perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.[3]
Kata al-Nas disebut sebanyak 240 kali, seperti QS Al-Zumar: 27
yaitu
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا
الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini
setiap macam perumpamaan.(Q.S Al-Zumar: 27).
Konsep al-Nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial
atau secara kolektif.
Dengan demikian
Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial.
Manusia sebagai basyar diartikan sebagai makhluk yang membutuhkan
materi, manusia sebagai insan diartikan sebagai makhluk yang memiliki
aspek kejiwaan, dan al-nas diartikan sebagai makhluk sosial, maka dapat
dipahami bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada
penciptanya, yaitu Allah. Pengertian penyembahan kepada Allah tidak boleh
diartikan secara sempit dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin
dalam shalat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia pada hukum Allah
dalam menjalankan kehidupan di muka bumi, baik yang menyangkut hubungan
vertikal (manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dengan manusia dan
alam semesta).[4]
proses kejadian manusia sebagaimana dikemukakan dalam surah al-alaq
dan al-mu’minun ayat 12-14 telah terbukti sejalan dengan apa yang dijelaskan
berdasarkan analisis ilmu pengetahuan. Namun yang terpenting dari itu bukanlah
terletak pada ditemukannya kesesuaian antara ajaran al-qur’an dengan ilmu
pengetahuan, tetapi yang terpenting adalah agar timbul kesadaran pada manusia,
bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dan selanjutnya ia
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kelak di akhirat. Kesadaran ini
selanjutnya diharapkan dapat menimbulkan sikap merasa sama dengan manusia
lainnya (egaliter), rendah hati, bertanggungjawab, beribadah dan beramal saleh.
Selanjutnya kalimat
khalqan akbar (makhluk yang berbentuk lain) yang terdapat pada ayat
tersebut di atas menunjukkan bahwa di samping manusia memiliki unsur fisik
sebagaimana dimiliki makhluk lainnya, namun ia juga memiliki potensi lain.
Menurut H.M Quraish Shihab, bahwa potensi lain itu adalah adanya unsur ilahiyah
(ruh ilahiyah) yang dihembuskan Tuhanpada saat bayi berusia empat bulan dalam
kandungan. Perpaduan unsur fisik-jasmaniah dengan unsur
psikis-rohaniah inilah yang selanjutnya membentuk manusia. Dari sini pula
selanjutya manusia dianugerahi potensi jarmaniah pancaindera berupa
penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan, dan potensi rohaniah berupa
dorongan, naluri dan kescenderungan seperti kecenderungan beragama,
bermasyarakat, memiliki harta, penghargaan, kedudukan, pengetahuan dan teman
hidup lawan jenis. [5]
Kenapa manusia
pertama datang sebagai nabi dan otoritas yang ditunjuk oleh Allah SWT, padahal
tampaknya lebih alamiah menurut proses evolusi kalau manusia pertama datang
sebagai manusia biasa, lalu setelah sampai pada tingkat perkembangan yang cukup
tinggi barulah salah satunya di angkat menjadi nabi. Ini merupakan satu poin
yang layak dipertimbangkan. Menurut Al-Qur’an manusia petama sangat tinggi
kedudukannya :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ
عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan (Inagatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,” Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
seluruhnya, kemudia mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama ini jika kamu memang benar!” (QS al-Baqarah:
30-31)
Ringkas kata,
manusia membuat para malaikat terkejut. Mengapa demikian? Mengenai manusia,
digunakan kata-kata “Dan meniupkan ke dalamnya roh-ku.” (QS. Al-Hijr:
29) ini menunjukkan bahwa di dalam struktur manusia ini ada satu unsur yang
lebih tinggi di samping unsur material, dan unsur yang lebih tinggi inilah yang
digambarkan oleh kata-kata di atas. Dengan kata laian, dalam struktur manusia
ini ada sesuatu yang sangat istimewa yang diletakkan oleh Allah SWT yang
menjadikannya sebagai khalifah-Nya.[6]
[1] Momon Sudama, sosiologi
untuk kesehatan (Jakarta; Salemba Medika, 2012) h. 23
[2] UNM, Pendidikan
Agama Islam (Makassar, 2014) h. 4
[3] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung; Mizan, 1996) h. 367-369
[4] UNM, Pendidikan
Agama Islam (Makassar, 2014) h. 6
[5] H. Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)
h.46-47
[6] Murtadha
Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (Jakarta: Lentera, 2002) cet. II h.
530-531
Individu berasal dari bahasa latin individuum yang artinya
tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dipakai untuk menyatakan satu
kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia
secara keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan terbatas,
yaitu perseorangan manusia, demikian pendapat Dr. A. Lysen.
Manusia lahir
sebagai makhluk individual yang bermakna tidak terbagi atau tidak terpisahkan
antara jiwa dan raga. Secara biologis, manusia lahir dengan kelengkapan fisik,
tidak berbeda dengan makhluk hewani. Namun, rohania ia sangat berbeda dengan
makhluk hewani apapun. Jiwa manusia merupakan satu kesatuan dengan raganya
untuk selanjunya melakukann aktivitas atau kegiatan. Kegiatan manusia tidak
semata-mata digerakkan oleh jasmaninya, tetapi juga aspek rohaninya. Manusia
mengerahkan seluruh jiwa raganya untuk berkegiatan dalam hidupnya.
Dalam
perkembangannya, manusia sebagai makhluk individu tidak hanya bermakna kesatuan
jiwa dan raga, tetapi akan menjadi pribadi yang khas dengan corak
kepribadiannya, termasuk kemampuan kecakapannya. Dengan demikian, manusia
sebagai individu merupakan pribadi yang terpisah, berbeda dari pribadi lain.
Manusia sebagai makhluk individu adalah manusia sebagai perseorangan yang memiliki
sifat sendiri-sendiri. Manusia sebagai individu adalah bersifat nyata, berbeda
dengan manusia lain dan sebagai pribadi dengan ciri khas tertentu yang berupaya
merealisasikan potensi dirinya.
Setiap manusia
memiliki perbedaan. Hal itu dikarenakan manusia memiliki karakteristik sendiri.
Ia memiliki sifat, watak, keinginan, kebutuhan, dan cita-cita yang berbeda satu
sama lainnya. Setiap maunusia diciptakan oleh Tuhan dengan ciri dan
karakteristik yang unik yang satu sama lain berbeda. Oleh karena itu, manusia
sebagai makhluk individu adalah unik. Setiap orang berbeda, bahkan orang yang
dikatakan kembar pun pasti memiliki perbedaan. Jadi, meskipun banyak persamaan
hakiki antarindividu, tetap tidak ada dua individu yang sama.
Pertumbuhan dan
perkembangan individu menjadi pribadi yang khas tidak terjadi dalam waktu
sekejap, melainkan terentang sebagai kesinambungan perkembangan sejak masa
janin, bayi, anak, remaja, dewasa, sampai tua. Istilah pertumbuhan lebih
tertuju pada segi fisik atau biologis individu, sedangkan perkembangan lebih
tertuju pada segi mental psikologis individu.
Pertumbuhan dan
perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor. Mengenai hal tersebut ada
tiga pandangan, yaitu :
1.2.3.1.1 pandangan nativistik menyatakan bahwa pertumbuhan
individu semata-mata ditentukan atas dasar faktor dari dalam individu sendiri,
seperti bakat dan potensi, termasuk pula hubungan atau kemiripan dengan orang
tuanya.
1.2.3.1.2 pandangan empiristik menyatakan bahwa pertumbuhan
individu semata-mata didasarkan atas faktor lingkungan. Lingkunganlah yang akan
menentukan pertumbuhan seseorang.
1.2.3.1.3 pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan
individu dipengaruhi oleh faktor diri individu dan lingkungan. Bakat anak
merupakan potensi yang harus disesuaikan dengan diciptakannya lingkungan yang
baik sehingga ia bisa tumbuh secara optimal.[1]
Pada dasarnya,
kegiatan atau aktivitas seseorang ditujukan untuk memenuhi kepentingan diri dan
kebutuhan diri. Sebagai makhluk dengan kesatuan jiwa dan raga, maka aktivitas
individu adalah untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan jiwa, rohani, atau
psikologis, serta kebutuhan jasmani atau biologis. Pemenuhan kebutuhan tersebut
adalah dalam rangka menjalani kehidupannya.
Pandangan yang
mengembangankan pemikiran bahwa manusia pada dasarnya adalah individu yang
bebas dan merdeka adalah paham individualisme. Paham individualisme menekankan
pada kekhususan, martabat, hak, dan kebebasan orang per orang. Manusia sebagai
individu yang bebas dan merdeka tidak terikat apa pun dengan masyarakat ataupun
negara. Manusia bisa berkembang dan sejahera hidupnya serta berlanjut apabila
dapat bekerja secara bebas dan berbuat apa saja untuk memperbaiki dirinya
sendiri.
Sebagai makhluk
individu, manusia berusaha memenuhi kepentingan atau mengejar kebahagiaan
sendiri. Motif tindakannya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang
meliputi kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Penekanan pada kepentingan
diri memunculkan sifat individualistik dalam diri pribadi yang bersangkutan. Di
samping itu, faktor pemenuhan atas kepentingan diri tersebut juga menjadikan
individu akan saling bersaing untuk hal tersebut.
Berdasarkan sifat
kodrat manusia sebagai individu, dapat diketahui bahwa manusia memiliki harkat
dan martabat, manusia memiliki hak-hak dasar, setiap manusia memiliki potensi
diri yang khas, dan setiap manusia memiliki kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan dirinya.
[1] Drs.
Herimanto, M.Pd., M.Si. & Winarno, S.Pd., M.Si, Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) cet. III h.42
Manusia sebagai
individu ternyata tidak mampu hidup sendiri. Ia dalam menjalani kehidupannya
akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling
membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lain. Hal ini disebabkan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri. Ia
akan bergabung dengan manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal ini, manusia sebagai individu
memasuki kehidupan bersama dengan individu lainnya.
Beberapa ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa kebutuhan manusia untuk
hidup bermasyarakat merupakan bagian dari penciptaannnya. Allah Berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
Dengan demikian,
ayat ini memecahkan problem sosial, karena syarat penting kehidupan
bermasyarakat adalah mampu mengenal satu sama lain. Kalau saja tak ada bangsa
dan suku yang merupakan ciri pemersatu dan pembeda, maka mustahil
mengidentifikasi orang, dan akibatnya adalah mustahil ada kehidupan sosial yang
dasarnya adalah saling berhubugan antar manusia.[1]
Benarkah manusia
sebagai makhluk sosial? Sejak manusia dilahirkan ia membutuhkan pergaulan
dengan orang laian terutama dalam hal kebutuhan makan dan minum.pada usia bayi,
ia sudah menjalin hubugan terutama dengan ayah dan ibu, dalam bentuk gerakan,
senyuman dan kata-kata. Pada usia 4 tahuan, ia mulai berhubungan dengan
teman-teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada usia-usia selanjutnya, ia
terikat dengan norma-norma pergaulan dengan lingkungan yang semakin luas.
Manusia hidup dalam lingkungan sosialnya.
Berdasarkan proses
di atas, manusia lahir dengan keterbatasan, dan secara naluriah menusia
membutuhkan hidup dengan manusia lainnya. Manusia sejak lahir dipelihara dan
dibesarkan dalam suatu masyarakat terkecil yaitu keluarga. Keluarga terbentuk
karena adanya pergaulan antaranggota sehingga dapat dikatakan bahwa berkeluarga
merupakan kebutuhan manusia. Esensinya, manusia memerlukan orang lain atau
hidup dalam kelompoknya. Allah berfirman :
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا
وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.. (QS. Al-Furqan: 54)
Jadi, menurut
kodratnya, manusia di mana pun pada zaman apa pun, selalu hidup bersama, hidup
berkelompok. Dalam sejarah perkembangan manusia tidak terdapat seorang pun yang
hidup menyendiri, terpisah dari kelompok manusia lainnya. Hidup menyendiri,
terlepas dari pergaulan masyarakat hanya mungkin terjadi dalam dongen belaka
(seperti Tarzan, Robinson Crusoe), namun dalam kenyataannya, hal itu tidak
mungkin terjadi. Sejak dulu, pada diri manusia terdapar hasrat untuk berkumpul
dengan sesamanya dalam satu kelompok, hasrat untuk bermasyarakat.
Aristoteles
(384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno menyatakan dalam ajarannya,
bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai
makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena sifatnya
yang ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang
menyendiri, namun sebagai manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam
masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang
diinginkan dengan mudah tanpa bantuan orang lain. Allah berfirman :
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ
مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ
مِمَّا يَجْمَعُونَ
Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa
yang mereka kumpukan. (QS. Az-Zukhruf: 32).
Ayat ini
menunjukkan bahwa manusia tidak diciptakan sama bakat dan kemampuannya.
Seandainya diciptakan sama, tentu setiap orang memiliki apa yang dimiliki orang
lain, dan tidak memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain.
0 komentar