Manusia Sebagai Makhluk Ibadat

By Unknown - 21.22



Tugas manusia di dunia adalah ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [QS Az-Zariyat : 56]. 

Meskipun merupakan tugas, akan tetapi pelaksanaan ibadah bukan untuk Allah: 
مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. [QS Az-Zariyat : 57], 

karena Allah tidak memerlukan apa-apa. Ibadah pada dasarnya adalah untuk kebutuhan dan keutamaan manusia itu sendiri.
Secara etomologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, hatta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. 
Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya
Adapun konsep ibadat dibagi menjadi dua yaitu Ibadat Mahdhah dan Ibadat Ghairu Mahdhah
Ibadat Mahdhah : Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah pokok dimana Allah telah menetapkan  akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya.
Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
  1. Wudhu,
  2. Tayammum
  3. Mandi hadats
  4. Shalat
  5. Shiyam ( Puasa )
  6. Haji Umrah


Ibadat Mahdhah memiliki 4 prinsip yaitu: 
  • Keberadannya harus berdasarkan dalil perintah : Jadi diharapkan beribdah jika tidak ada dalil atau perintah, baik itu dalil didalam Al-Quran atau didalam sunnah
  • Tata caranya harus berpola kepada Rasul Saw. dan salah satu Allah mengutus Rasul adala untuk memberi contoh.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ                                                                                        
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

  • Bersifat supra rasional artinya ibadah mahdhah penekanannya bukan dari mengerti atau tidaknya tetapi ibadah mahdhah harus sesuai dengan syariat. Atas dasar ini maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat
  • Asasnya ''taat'' artinya hamba dalam menjalankan ibadah mahdhah adalah kepatuhan dan ketaatan dimana hamba harus meyakini apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hambanya. dan salah satu tujuan utam diutus Rasul adalah untuk dipatuhi
Sebab perbedaan mereka adalah perselisihan dalam memandang wudhu, apakah termasuk ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang tidak bisa dipahami secara logika (Ghair Ma’qul al-Ma’na), akan tetapi tujuannya murni untuk beribadah kepada Allah semata, seperti shalat dan yang lainnya. Atau wudhu termasuk ibadah yang bisa dipahami secara logika, seperti membersihkan najis.
Lalu beliau menegaskan,
“Karena mereka sepakat bahwa ibadah mahdhah membutuhkan niat, sementara ibadah yang bisa dipahami secara logika, tidak butuh niat. Sementara wudhu mirip dengan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Karena itulah, terjadi perbedaan pendapat terkait wudhu, karena wudhu menggabungkan antara amal ibadah dengan bersuci.” (Bidayatul Mujtahid, 1/8).
Kita bisa mengenali ibadah yang Ghair Ma’qul al-Ma’na (tidak bisa dipahami secara logika) dengan cara menimbang posisi keberadaan syariat. Andaikan tidak ada syariat yang diturunkan oleh Allah, tentu manusia tidak bisa melakukannya. Karena tidak terbayang dalam logika mereka.
Andai tidak ada ajaran syariat, kita tidak akan pernah tahu shalat 5 waktu. Kita juga tidak tahu jumlah rakaatnya.
Andai tidak ada ajaran syariat, kita juga tidak tahu mengapa zakat mal itu 2,5%, hanya dikeluarkan untuk 8 ashnaf (golongan).
Andai tidak ada ajaran syariat, kita juga tidak tahu bagaimana cara dzikir yang benar setelah shalat.
Dst. Logika manusia tidak bisa menjangkaunya.
Berbeda dengan ibadah yang Ma’qul al-Ma’na (bisa dipahami berdasarkan logika). Meskipun tidak ada wahyu, orang bisa memahaminya. Seperti membersihkan kotoran dan najis, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada sesama, amar ma’ruf nahi mungkar, memberi nafkah keluarga, dst. Dengan nalurinya, orang bisa melakukannya.
Kaitannya dengan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, ada 2 hal yang perlu kita bedakan,
[1] Keabsahan ibadah
[2] Mendapatkan pahala dari ibadah
Ibadah mahdhah hanya akan bernilai sah dan berpahala, jika dilakukan dengan niat yang ikhlas.
Berbeda dengan ibadah ghairu mahdhah. Jika dilakukan dengan niat yang benar, untuk mendapatkan pahala dari Allah, maka ada nilai pahalanya. Namun jika dilakukan tanpa diiringi niat yang benar, statusnya tetap sah, hanya saja, tidak ada nilai pahalanya.
Seorang anak sah disebut berbakti kepada kedua orang tuanya, ketika dia berbuat baik kepada mereka, meskipun bisa jadi tidak ada keinginan untuk mengharap pahala dari Allah.

Referensi :
http://putribalqiiis.blogspot.co.id/2016/10/manusia-sebagai-makhluk-ibadat.html
https://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
https://konsultasisyariah.com/30961-apa-itu-ibadah-mahdhah.html

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar